Rumah yang Gembira

CERPEN TJAK S. PARLAN

Kepala lingkungan itu menyebut hal-hal seputar gangguan itu sebagai ‘pencemaran lingkungan’, ‘kegaduhan’, dan ‘ancaman’.

“Kami sama sekali tak melarang Ibu pelihara hewan. Hanya saja, kami ingin Ibu mau menguranginya,” jelas kepala lingkungan.

Tak banyak yang bisa ia lakukan dengan segala penjelasan dan permintaan itu. Ia sendirian dan tak ada teman untuk berbagi pendapat. Ia hanya minta diberi waktu agar bisa membicarakan persoalan itu dengan suaminya ketika sudah pulang nanti.

Tapi alasan itu telah dipatahkan oleh mereka. Keputusan warga akan tetap sama: hewan-hewan itu harus dikurangi jumlahnya.

“Ibu tak perlu khawatir, lembaga kami akan mengurus anjing-anjing liar itu. Kami juga akan merawatnya dengan baik dan menempatkannya di tempat yang lebih layak,” ujar salah seorang.

“Nanti saya akan bicara langsung dengan suami ibu,” tambah kepala lingkungan.

Selanjutnya, ia hanya bisa memandangi dengan tubuh gemetar ketika sebagian anjing-anjing yang telah diselamatkannnya itu dimasukkan ke dalam sebuah mobil.

Ia bisa mendengar dengan jelas saat anjing-anjing itu mulai menggonggong seolah meminta perlindungan darinya. Mereka hanya menyisakan dua ekor anjing. Sementara untuk kucing-kucing dan ayam-ayam, akan diurus belakangan, kata mereka.

“Bau kotoran hewan,” gumamnya lirih. “Apa yang salah dengan kotoran hewan? Saya setiap hari membersihkannya. Bukankah rumah ini terpisah dari mereka?”

Ia tak habis pikir dengan kejadian itu. Suaminya memilih rumah yang terpisah dari pemukiman warga itu karena persoalan harga kontrak yang lebih murah ketimbang rumah lainnya.

Lantas, apakah kokok ayam, sekali waktu gonggongan anjing, dan keriangan kucing di musim kawin benar-benar bisa merusak ketenteraman umat manusia? Apakah seseorang tidak boleh memiliki rumah yang gembira?

Lihat juga...