Taman Glugut, Tawarkan Suasana Pedesaan yang Asri dan Merakyat

Redaktur: ME. Bijo Dirajo

“Karena banjir badai Cempaka lalu, kedua sisi pepohonan di sepanjang sungai ini hanyut terbawa arus. Jembatan gantung yang ada tak jauh dari sini juga jebol dan belum dibangun. Karena itu warga membuat rakit atau sesek ini agar bisa mengubungkan desa Wonokromo, Pleret menuju Karangwuni, Trimulyo, Jetis,” katanya.

Namun tak disangka, banyaknya warga yang memanfaatkan rakit atau sesek itu, semakin membuat kawasan ini dikenal. Warga di sekitar lokasi tersebut, baik dari Wonokromo maupun Karangwuni kemudian sepakat untuk bersama-sama mengembangkan menjadi lokasi wisata. Secara swadaya mereka membangun taman dan aneka permainan atau wahana pendukung.

“Glugut itu bahasa Jawa. Yakni serbuk yang biasa menempel di pohon bambu, yang bila mengenai kulit, akan membuat gatal-gatal. Nama ini diambil karena warga yang membersihkan dan membangun tempat ini harus bersusah payah terkena Glugut,” katanya.

Meski terbilang baru, namun Taman Glugut, sudah mampu menarik banyak wisatawan. Setiap hari khususnya akhir pekan, sedikitnya 1.000 orang berkunjung ke tempat ini. Hal itu dikarenakan biaya wisata di lokasi ini terbilang murah. Tak ada tiket masuk, biaya parkir pun hanya sumbangan seikhlasnya.

Dengan biaya Rp5 ribu saja, pengunjung sudah bisa menikmati wisata susur sungai Opak untuk melihat pemandangan asri di sepanjang tepian sungai. Berupa hutan bambu layaknya di Amazon, sepanjang kurang lebih 1 kilometer.

Dengan biaya Rp5 ribu, anak-anak juga bisa menyewa motor ATV untuk digunakan berkendara menyusuri trek, di tengah rimbun hutan bambu. Sedangkan bagi orang dewasa biayanya cukup Rp8 ribu. Sementara untuk menyeberang sungai, setiap warga tidak ditarik biaya, kecuali sumbangan seikhlasnya.

Lihat juga...