Menurut dia, hasil psikotest terhadap salah seorang anak menunjukkan bahwa pasien itu telah mengidentifikasi dirinya sebagai pembunuh. Sementara orang yang paling dibencinya adalah orang tuanya yang dianggap sebagai penghalang dirinya untuk berhubungan dengan laptop dan gawai.
“Syukurlah dari penanganan yang kami lakukan hasilnya sudah mulai membaik. Banyak metode yang kami lakukan untuk menangani pasien ini, termasuk terapi realita. Saya ajak si anak untuk melihat pasien dengan gangguan jiwa akut atau psikotik. Saya bilang pada anak itu, kalau kamu tidak mau melepaskan diri dari game, lama-lama menjadi seperti mereka yang menderita psikotis itu. Dia kemudian terdiam dan saya suruh peluk ibunya. Akhirnya pikiran dia tentang gadget atau laptop berubah,” katanya.
Ia menjelaskan kasus dua anak itu hendaknya menjadi peringatan bagi semua orang tua dan semua pemangku kepentingan di sekolah agar anak-anak betul-betul mendapatkan perhatian.
“Isilah keinginan anak-anak itu dengan hati kita bukan dengan gadget. Kita harus isi hati anak-anak itu dengan yang nyata, yaitu kita sebagai orang tua, bukan dengan yang tidak nyata di gadget,” katanya.
Menurut dia, secara psikologis, anak-anak itu mencari kesenangan hati di perangkat teknologi informasi karena tidak mendapatkan itu dari lingkungan sekitarnya, khususnya orang tua.
Mengenai perawatan poli jiwa, pihaknya terus melakukan sosialisasi ke masyarakat, termasuk melalui dokter-dokter umum dan paramedis yang bertugas di seluruh puskesmas di Bondowoso.
Pihaknya juga bekerja sama dengan instansi lain, seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Pemkab Bondowoso. Serta menjalin kerja sama dengan sekolah, meskipun belum semua untuk menangani masalah siswa yang bisa ditangani oleh sekolah. (Ant)