PADANG — Nasib para nelayan bagan di Sumatera Barat (Sumbar) pada 2018 ini kembali menjadi sorotan. Pasalnya, keringanan untuk melaut yang diberikan oleh Kementerian Kalautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia untuk nelayan tetap melaut telah berakhir, seiring tutup 2017.
Memasuki 2018, para nelayan bagan harus menghentikan mata pencarian mereka, karena tidak ada kejelasan izin melaut dari KKP.
Ketua Persatuan Nelayan Bagan Sumbar Hendra Halim hal yang membatasi nelayan bagan untuk melaut itu, karena berdasarkan Permen Kelautan dan Perikanan No 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI, ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi oleh para nelayan bagan untuk mengkap ikan.
Ketentuan itu yakni bagi bagan yang di atas 30 Gross Ton (GT) harus mengurus izin seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Layanan Operasional (SLO), serta perlu membeli sistem pemantauan kapal perikanan atau Vessel Monitoring System (VMS). Hal yang membuat keberatan para nelayan bagan ialah biaya untuk mengurus surat tersebut.
Seperti halnya untuk biaya pembuatan SIPI membutuhkan biaya yang besar. Misalnya untuk per satu GT nya, para nelayan harus membayarkan Rp.412.000 per tahunnya untuk nelayan di atas 30 GT. Jika dikalikan Rp.412.000 x 30, nelayan harus mengeluarkan biaya Rp12.360.000 untuk kapal bagan 30 GT per tahunnya.
Pungutan Hasil Perikanan (PHP) ditangani oleh KKP langsung. Sementara untuk nelayan di bawah 30 GT, yakni 20 GT dan 10 GT, juga perlu membayarkan PHP, dengan jumlah Rp4.000 per GT per tahunnya yang diterima oleh Perintah Provinsi Sumbar.