40 Tahun, Jono Gantungkan Hidupnya di Ujung Pohon Kelapa
Hal yang paling sulit bagi Jono dalam menderes nira kelapa adalah saat musim hujan. Air yang membasahi batang pohon kelapa membuat pijakan menjadi sangat licin. Jika tak hati-hati sangat mungkin terpeleset dan jatuh dari pohon.
“Setiap penderes kelapa pasti pernah jatuh. Itu sudah resiko. Saya sendiri sudah 3 kali jatuh. Sampai tangan saya patah. Tapi itu masih bisa dibilang untung karena tidak sampai cacat, lumpuh atau meninggal,” katanya.
Resiko besar yang ditanggung seorang penderes nira kelapa sudah bukan jadi pertimbangan bagi Jono. Padahal tak sedikit teman, tetangga, bahkan saudaranya sendiri yang harus menderita luka parah, cacat, lumpuh bahkan meninggal akibat terjatuh.
“Banyak sekali yang mengalami nasib seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak menderes mau makan dari mana. Mau tidak mau, ya harus tetap menderes, biar keluarga bisa makan dan tetap hidup,” tuturnya.
Meski tergolong telah berusia tua, Jono mengaku tak tahu akan sampai kapan menjadi penderes nira kelapa. Pasalnya profesi itu kini sudah semakin jarang di desanya.
Banyak anak-anak muda di desanya yang enggan menjadi penderes nira kelapa, termasuk kedua anaknya sendiri. Sehingga mayoritas penderes yang tersisa saat ini sudah berusia tua.
“Padahal dulu semua anak desa di sini itu pasti bisa menderes. Orang-orang desa yang sekarang sudah jadi orang sukses. Waktu kecil dulu, sepulang sekolah juga ikut menderes. Kalau sekarang mana ada anak muda yang mau menderes kelapa,” katanya.
