YOGYAKARTA – Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, pasti mengenal kue Apem. Kue berbentuk bulat dengan tekstur kenyal dan berwarna putih kecoklatan ini begitu populer dan sudah menjadi menu wajib pada acara tertentu.
Tak sekedar memiliki cita rasa yang khas, kue Apem ternyata juga memiliki sejarah tradisi budaya serta nilai filosofis yang begitu kuat melekat di masyarakat, khususnya Jawa. Hampir setiap bulan Ruwah dan Sapar dalam penanggalan Jawa, kue Apem dibuat dalam jumlah massal untuk dibagi dan dinikmati bersama.

Salah seorang pembuat kue apem, Jujuk (50), asal dusun Wonolelo, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, mengatakan kue apem termasuk kuliner yang sangat mudah dibuat. Bahannya hanya terdiri dari tepung beras, parutan kelapa muda, telur, serta margarin.
“Cara membuatnya, semua bahan dicampur, kemudian tambahkan air dan diaduk hingga merata. Setelah menjadi adonan, kemudian diletakkan pada cetakan lalu dimasak hingga matang,” katanya.
Apem memiliki rasa gurih yang khas, yang berasal dari bahan parutan kelapa. Sementara tekstur lembut sedikit kenyal berasal dari bahan tepung beras yang mengembang. Selain biasa dibuat dalam rasa original, kue apem juga biasa ditambahkan dengan rasa buah, seperti nangka, nanas, dan sebagainya.
Meski terbilang merupakan jajanan yang mudah dibuat dan memiliki harga sangat murah, apem ternyata memiliki nilai sejarah dan filosofis yang tinggi.
Wartono, salah seorang penggiat tradisi saparan berupa pembagian apem, menyebut apem merupakan makanan asal Arab. Masyarakat Indonesia kemudian membuat makanan sejenis dengan memanfaatkan bahan dan citarasa lidah orang Jawa. Makanan itulah yang kemudian dinamakan kue Apem.