Arsitektur rumah panggung tersebut di sepanjang jalan lama, jalan yang dikenal sebelum adanya Jalan Lintas Sumatra, bahkan jumlahnya hanya mencapai ratusan. Sementara, di Desa Ruang Tengah, Amirudin menyebut hanya tinggal 5 unit saja.
Beberapa warga yang mempertahankan aristektur rumah panggung di desa tersebut, adalah Ferizal, Anwar, Herman, Rudi Alamsyah, dan Amirudin. Mereka menilai sebagian rumah arsitektur panggung tersebut masih tetap awet dan kuat hingga sekarang. Selain pemilihan jenis kayu Merbau dan Kayu Sungkai yang awet dimakan usia, faktor keterbatasan pemilik rumah untuk melakukan perbaikan menjadi alasan pemilik masih mempertahankan bentuk asli rumahnya.
![]() |
Amirudin |
“Kalau dipandang saat ini memang sudah ketinggalan zaman, tapi kami masih tetap bangga rumah dengan arsitektur tradisional dan adat Lampung ini masih tetap lestari, kalaupun ada biaya kami pun akan tetap mempertahankannya dengan merehab bagian kayu tanpa mengubah bentuk aslinya,” kata Amirudin.
Amirudin mengaku pernah merehab rumah panggungnya, namun hanya dilakukan pada tiang-tiang penyangga yang tingginya mencapai 6 meter dan kini hanya sekitar 3 meter. Ketinggian tiang tersebut pada awalnya merupakan upaya untuk melindungi pemilik rumah dari binatang buas yang masih banyak pada masa itu, dan meski kini lebih dipendekkan, tapi tanpa mengubah bentuk asli asritektur rumah panggung yang ditempatinya bersama keluarganya hingga kini.
Salah-satu pemilik rumah yang merupakan generasi keempat dari keluarga Mangku Bumi, dengan gelar adat yang masih dipertahankan seperti Herman (50), mengaku rumah yang kini ditinggalinya merupakan salah-satu rumah yang masih dipertahankan di Desa Ruang Tengah. Herman mengaku jika ia merupakan generasi keempat atau cicit dari keluarga tersebut, dan arsitektur rumah panggung yang ditempatinya sudah ada sejak ia masih kecil.