RABU, 15 MARET 2017
YOGYAKARTA — Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY) menilai, komitmen pemerintah dalam melindungi hak-hak konsumen di Indonesia saat ini masih sangat rendah. Pemerintah dinilai tidak serius dalam melindungi hak-hak konsumen masyarakatnya. Hal itu ditunjukkan dengan minimnya regulasi yang mengatur persoalan terkait pemenuhan hak-hak konsumen.
![]() |
Anggota Dewan Pengurus Lembaga Konsumen Yogyakarta, Widiantoro. |
Anggota Dewan Pengurus Lembaga Konsumen Yogyakarta, Widiantoro, mengatakan, regulasi yang mengatur hak-hak dan perlindungan konsumen hingga saat ini hanya sebatas pada UU Nomor 8 Tahun 1999. Selain dianggap telah usang, UU perlindungan konsumen tersebut juga dinilai memiliki banyak celah kelemahan dan tidak relevan lagi digunakan di zaman modern seperti sekarang.
“Payung hukum saat ini hanya UU No 8 Tahun 1999. Selama 10 tahun lebih diwacanakan untuk direvisi namun sampai saat ini tidak pernah masuk program Prolegnas. Jika dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara saja, kita kalah jauh. Pemerintah kita masih belum memiliki komitmen serius melindungi hak-hak konsumen,” katanya, Rabu (15/3/2017).
Dijelaskan Widiantoro, salah satu kelemahan dasar UU No 8 Tahun 1999 sehingga harus direvisi ialah terkait jangkauan pelaku usaha yang terbatas. UU tersebut tidak bisa menjangkau pelaku usaha di luar negeri. Padahal, dalam era globalisasi saat ini, proses jual-beli sudah dilakukan secara global dan tidak hanya terbatas di dalam negeri saja.
“Selain itu juga terkait kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang tanggung. BPSK diberi kewenangan membuat keputusan tapi tetap bisa diajukan keberatan ke pengadilan negeri. Itu kan percuma. Konsumen tidak bisa mendapat hak yang mestinya didapat. Harusnya final, begitu selesai langsung dibayar. Karena persoalan konsumen sebenarnya tidak cocok masuk pengadilan,” katanya.