Garam Gunung Dataran Tinggi Krayan, Kearifan Lokal di Jantung Borneo

MINGGU, 23 OKTOBER 2016

CATATAN JURNALIS — Polemik penanganan petani garam di pesisir laut indonesia sampai import garam pemerintah sebenarnya harus menjadi pelajaran berharga bahwa disaat semuanya sedang mengalami pertentangan dan pembahasan maka ada sebagian masyarakat di Kalimantan tepatnya dataran tinggi krayan sudah memproduksi garam secara turun temurun.
Pekan Produk Budaya Indonesia 2016 (PPBI 2016) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 19-23 Oktober 2016 menampilkan sebuah produk kearifan tradisional masyarakat dataran tinggi Krayan di jantung pulau Kalimantan yang telah menjadikan garam gunung sebagai komoditas turun temurun tanpa mengalami polemik. Berikut adalah sedikit kisah tentang garam gunung dan bagaimana usaha masyarakat lokal disana dalam mempertahankan komoditas yang telah menghidupi mereka sejak dahulu kala.
Keunikan dataran tinggi Kalimantan atau Borneo adalah banyaknya mata air garam yang tersebar di lembah-lembah aluvial yang relatif datar. Sebagian besar berada di daerah raha yang rendah, dan yang lain mengalir dari kaki bukit di hutan serta bercampur dengan air sungai.
Hingga hari ini ada 33 mata air garam yang diketahui terdapat di dataran tinggi Krayan, namun tidak semuanya dapat digunakan untuk memproduksi garam gunung, atau dalam bahasa lokal biasa disebut tucu’.
Garam gunung berasal dari air yang memiliki salinitas tinggi yang mengalir dari dalam tanah. Air tersebut sudah ada di dalam tanah sejak jutaan tahun yang lalu ketika dataran tinggi disana masih ditutupi oleh laut.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat setempat telah mampu mengidentifikasi mata air garam yang dapat dikonsumsi oleh manusia (main) dan mata air garam yang dapat dikonsumsi oleh satwa liar (rupan). Dengan kecerdasan alami dan keterampilan yang dimiliki, masyarakat setempat telah mengubah air yang memiliki salinitas tinggi menjadi garam dan dapat dijual ke daerah lain. 
Meskipun tidak diketahui kapan persisnya masyarakat disana mulai mengambil garam dari mata air yang ada, melalui catatan etno-historis kita dapat mengetahui bahwa garam adalah salah satu komoditas yang paling berharga serta dapat diperjualbelikan di pedalaman Kalimantan (pedalaman Boeneo). Garam juga merupakan sebuah produk bernilai tinggi, dan pada jaman dahulu, satu balok garam dapat ditukarkan dengan sebilah pisau logam (parang) di Apo Kayan.
Proses produksi garam itu sendiri terjadi sepanjang tahun, namun menjadi sedikit berkurang saat bersamaan dengan datangnya masa tanam dan musim panen padi. Di dataran tinggi Krayan, secara bergiliran penduduk setempat memproduksi garam, menghabiskan dua hingga tiga minggu di lokasi produksi jika lokasinya cukup jauh dari desa tempat mereka tinggal.
Kaum perempuan memiliki peranan penting dalam proses pembuatan garam gunung. Garam berkembang menjadi sebuah komoditas utama sebagai konsumsi sehari-hari dan juga untuk dijual. Metode yang digunakan untuk memproduksi garam gunung merupakan metode tradisional yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat lokal. 
Dengan sedikit inovasi, maka saat ini mereka sudah menggunakan tong logam untuk memasak dalam jumlah yang lebih besar serta dapat mengekstrak garam dalam waktu yang lebih singkat.
Setelah melewati proses pembuatan maka garam dikemas secara tradisional yaitu dengan cara memanaskan garam yang sudah dipadatkan ke dalam bambu di atas tungku api dan kemudian membungkusnya menggunakan daun. Biasanya garam disimpan dalam tumpukan kayu bakar di atas perapian di dapur. Dengan cara ini balok-balok garam akan tetap keras dan kering, serta dapat digunakan selama bertahun-tahun.
Proses produksi garam gunung adalah bagian penting dari warisan sejarah dan budaya masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Borneo (Kalimantan) khususnya dataran tinggi Krayan. Garam gunung sering dijadikan buah tangan maupun cinderamata ketika berkunjung ke rumah keluarga yang tinggal di daerah dataran rendah. 
Masyarakat dari etnis lain kerap juga mencari garam gunung karena mereka percaya bahwa garam gunung dapat berfungsi sebagai obat. Hingga hari ini, garam gunung tetap menjadi komoditas perdagangan dan sebuah simbol identitas dari masyarakat dataran tinggi Krayan di jantung Borneo.
Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo atau disingkat FORMADAT merupakan sebuah forum komunikasi yang melindungi kearifan tradisional dan sumber daya alam di dataran tinggi Krayan. Bagi mereka, tinggal di daerah terpencil yang jauh dari program pembangunan bukan menjadi masalah karena itu malah menjadi semangat bagi mereka untuk tetap bertahan sekaligus membangun tanah kelahiran mereka sendiri yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
” Kami tidak punya tanah air lain, maka kami melindungi dataran tinggi Borneo, di mana kami telah hidup secara turun temurun,” ucap Lewi G Paru, Kepala FORMADAT-Indonesia dalam sebuah artikel.
Baru-baru ini, garam gunung Krayan terdaftar di Slow Food Art of Taste, sebuah yayasan atau organisasi non-profit yang mengkoordinasikan berbagai proyek dalam mendukung keanekaragaman makanan dan sumber pangan dunia. Ini merupakan sebuah pengakuan produk yang tidak hanya memiliki karakteristik unik dan cita rasa lokal, namun juga sebuah produk yang termasuk langka dan istimewa.


Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : Rayvan Lesilolo / Foto : Miechell Koagouw

Lihat juga...