Duduk di Berok, Bukti Penghargaan Suku Pada Pemerintah

SABTU, 26 MARET 2016
Jurnalis: Ebed De Rosary / Editor: ME. Bijo Dirajo / Sumber foto : Ebed De Rosary

LARANTUKA — Terik mentari mulai terasa menyengat. Belasan anak muda terlihat sibuk mengecat pagar taman doa Tuan Meninu. Kamis ( 24/3/2016 ) Cendana News menyambangi kapela Tuan Meninu guna mencari data terkait ritual ini.
Berok (perahu) yang membawa patung Yesus Wafat di Salib sedang bertolak menuju Pantai Kuce Pohon Sirih
Tenggelamnya perahu motor yang mengangkut peziarah dan meninggalnya para peziarah yang mengikuti prosesi laut (tahun 2014) menjadikan ritual ini terkenal dan jadi sorotan. Jauh sebelumnya tidak ada yang mengetahui aktifitas segelintir warga Kota Rowido dan umat kapela Tuan Meninu saat menghantar patung Yesus Wafat di Salib menuju Armida Pohon Asam.
Tahun demi tahun ritual ini selalu ramai diikuti kapal motor peziarah. Ritual yang awalnya sunyi, tenang, khusuk dan sakral berubah jadi sebuah kegembiraan dan hura – hura. Kapal yang datang mengangkut peziarah terkesan hanya sekedar mengikuti pawai “Iko Pawe“. Orang tak lagi berdoa tapi sibuk tertawa, berfoto ria bahkan berpacaran.
Armida Kosong
Anton Thomas Fernandez, ketua lembaga pembangku adat suku Kinta Besa kepada Cendana News yang menemuinya pagi itu menuturkan, waktu itu tahun 1983 saat bupati Flotim dijabat Letkol Simon Petrus Soliwoa dirinya mencari tahu dan menanyakan kenapa Armida Tuan Meninu di Pohon Sirih dibiarkan kosong. Dikatakan Anton, sebelum jadi Bupati, Soliwoa pernah datang mengikuti ritual ini setahun sebelumnya.
Armida tersebut jelas Anton, memang ada tetapi hampir 5 tahun dibiarkan kosong sebab pastor paroki gereja San Juan Lebao melihat bahwa umat semuanya ke kota sementara gereja milik mereka dibiarkan kosong. Akhirnya pastor meminta umat membuat prosesi sendiri di kapela Tuan Meninu .
“ Jadi selama sekitar 5 tahun Armida Tuan Meninu dibiarkan kosong. Akhirnya Bupati Soliwoa meminta agar umat kembali mengisi Armida Tuan Meninu,“ ujarnya.
Atas permintaan bupati akhirnya tiga suku yang mengatur dan bertanggungjawab atas kapela Tuan Meninu yakni suku Kinta Besa, (Fernandez), suku Nalele dan suku Pohon Rita (Diaz) mengijinkan agar sampan (Berok) yang menghantar patung Yesus Wafat di Salib dikawal beberapa kapal dan diikuti peziarah.
Umat pun mulai terlibat dan kembali mengantar patung Yesus Wafat di Salib untuk ditahtahkan di Armida Tuan Meninu. Sebelum patung dihantar, beberapa umat bersama Mardomusejak Kamis Putih sudah bergerak membangun Armida.
Pledang ( perahu penagkap ikan paus ) dari Lamalera yang mengikuti ritual prosesi laut.
Ramai
Sejak diizinkan, prosesi mengahantar patung Tuan Meninu mulai diadakan dan pemerintah terlibat di dalamnya. Segala kapal motor dibiarkan terlibat tanpa adanya pengaturan oleh pemerintah. Pemeriksaan kondisi kapal, alat keselamatan maupun jumlah penumpang tidak dilakukan. Hampir semua kapal yang terlibat terlihat disesaki peziarah yang berjubel hingga di atap kapal.
Dulunya beber Anton, Berok yang menghantar peti Yesus Wafat di Salib hanya dikawal sebuah berok (sampan) lajanti di bagian depan dan tiga buah sampan pengawal di bagian kiri, kanan dan belakang.
Setelah bupati dijabat Letkol. H. Iskandar Munthe tahun 1989 sampai 1994, kapal – kapal penangkap ikan Cakalang  fiber) sudah mulai ada dan ikut prosesi. Saat bupati dijabat Felik Fernandez  beberapa pledang penangkap ikan paus dari Lamalera juga datang mengikuti prosesi.
“ Para nelayan mengatakan mereka menangkap ikan di laut lepas dan berharap Tuan Yesus melindungi mereka. Mereka datang dengan ujud dan niat sehingga kami tidak bisa menghalangi orang yang ingin berdoa, memohon perlindungan Tuhan “ tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Yohanes Jhoni Aliandoe, suku Semana sekaligus wartawan senior yang ditemui Cendana News, Kamis (24/3/2016). Dikatakan Jhoni, waktu Bupati Soliwoa menanyakan, dirinya menjelaskan detail sejarah dan ritual saat Semana Santa.
Akhirnya bersama kepala Syahbandar Larantuka, bapak Luis Djawa, diputuskan agar kapal syahbandar dan beberapa kapal ikut serta mengawal. Saat bupati dijabat Munthe yang beragama Islam, sangat mendukung kegiatan ini. Terlebih saat itu kepala syahbandar juga dijabat Salean yang beragama Protestan sama dengan agama yang dianut syahbandar sebelumnya.
Kapal –kapal penangkap ikan( fiber ) yang saat itu baru berdatangan di Flores Timur juga mulai ikut terlibat prosesi. Syahbandar selain menyertakan speed boat untuk mengawal dan mengatur, juga meminta kapal yang lainnya ikut terlibat. Syahbandar juga ikut membersihkan rute jalan yang akan dilewati prosesi dengan meminta kapal dan perahu yang ditambatkan agar menjauh sementara.
Kapal – kapal barang di pelabuhan Larantuka tidak diperkenankan bersandar sementara dan harus keluar menjauh dan juga kalau hendak terlibat dalam prosesi juga diperkenankan.
Jaman bupati dijabat Felix Fernandez,SH tahun 2000, dirinya getol memperkenalkan ritual Semana Santa di Larantuka. Taman Doa Tuan Meninu dan taman doa depan kapela Tuan Ana serta tempat pemberangkatan dan pendaratan Berok yang membawa patung Tuhan YesusWafat di Salib dibangun dan dipercantik Pledang – pledang dari lamalera juga sudah mulai terlibat dalam prosesi.
Bupati Felix membuat prosesi laut menjadi meriah dengan menjadikannya sebagai sebagai salah satu wisata religi. Promosi pariwisata dengan menjual ritual Semana santa dilakukan secara besar – besaran dan mengundang pihak kedutaan asing untuk menghadiri. Para pejabat atau menteri mulai berdatangan. Hal ini yang membuat ritual ini disorot media sebab hadirnya para pejabat negara dan duta besar dari negera lainnya.
Sampan yang mengangkut patung Yesus Wafat di Salib tiba di Pantai Kuce Pohon Sirih.
Duduk di Berok
Dulu yang boleh duduk di sampan ( Berok ) Tuhan Yesus Wafat di Salib di bagian depan dan belakang Berok mengapit peti Yesus Wafat di Salib hanya Mama Do dan petugas yang menjunjung peti tersebut. Hadirnya pemerintah dan terlibat di dalamnya membuat tiga suku di kapela Tuan Meninu memberikan kesempatan seorang wakil pemerintah untuk duduk di Berok Tuhan Yesus Wafat di Salib.
“ Waktu itu Bupati Soliwoa yang minta untuk duduk di Berok dan karena menghargai pemerintah dan supaya mereka juga terlibat, kami sepakat memberikan kesempatan kepada seorang wakil dari pemerintah “ ujar Anton.
Semenjak saat itu bupati atau gubernur pun duduk di Berok tersebut. jadi kalau ada gubernur, menteri atau pejabat tinggi negara yang mau duduk di Berok, ungkap Anton, dia harus meminta kepada bupati dan bupati yang mengijinkannya sebab kami tidak mau ada lebih dari satu orang wakil pemerintah. 
Berok yang memuat peti Yesus Wafat di Salib papar Anton, hanya boleh ditempati dua orang saja. Kalau ada pejabat yang mau terlibat, dia bisa duduk di sampan atau perahu lainnya di belakang sampan pengawal.
“ Dulu memang Mama Do dari suku Diaz yang duduk di depan, sejak jaman bupati Soliwoa baru diberikan kesempatan kepada pemerintah. Itu juga kebijakan dari kami saja, kalau kami ingin pemerintah tidak boleh duduk disitu juga bisa saja. Tapi kami menghargai pemerintah yang ikut terlibat mengambil bagian dalam ritual ini “ sebut Anton.
Ditambahkan Anton, kebetulan dirinya juga anggota konfreria sehingga tidak ikut duduk di Berok dan berjalan lewat jalan darat usai menjunjung peti dan meletakannya di Berok dan menyambut di pante Pohon Sirih dan menjunjungnya ke Armida. Waktu prosesi antar patung beber Anton biasanya bupati yang ikut di Berok, sementara saat mengantar pulang, wakil bupati yang diberikan kesempatan.
Jaman dahulu jelas Anton, anak – anak muda berjalan lewat pinggir pantai mengawal Berok yang menghantar Patung Yesus Wafat di Salib hingga tiba di pantai Pohon Sirih. Sementara itu umat lainnya menggunakan kendaraan atau berjalan kaki seraya melantunkan doa.
“ Saat bapak saya meninggal saya yang harus menjunjung peti sebab kakak saya semuanya di rantau. Saya junjung dari kapela ke sampan dan mengangkat dari sampan ke Armida.Tidak boleh orang lain yang junjung, pegang petinya saja tidak boleh “ kata Anton.
Lihat juga...