Tahun Baru, Yogyakarta Menunggu Raja Baru, Upaya Memahami Sabda Sultan HB X

Sultan HB X merubah bagian dari nama gelarnya, Buwono menjadi Bawono dan menghilangkan gelar kalifatullah. Gelar Sultan sebelumnya adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun dengan adanya perubahan gelar yang diumumkan melalui Sabda Raja itu, gelar Sultan HB X sejak itu menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panatagama.

Sabda yang keempat adalah Dawuh Raja yang juga berarti Perintah Raja. Dawuh Raja yang dibacakan pada Selasa, 5 Mei 2015 juga semakin menghebohkan lagi, karena dalam Dawuh Raja itu hanya berisi satu hal penting. Yaitu, Sultan HB X mengganti nama gelar putri sulungnya dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Pergantian nama gelar ini mengejutkan, karena gelar Mangkubumi selama ini hanya diberikan kepada putra mahkota. Maka, dengan diberikannya nama gelar tersebut kepada GKR Pembayun, muailah muncul kontroversi terhadap munculnya raja wanita atau ratu di Kasultanan Yogyakarta.
Dawuh Raja yang berisi penetapan GKR Pembayun sebagai GKR Mangkubumi, semakin menimbulkan perpecahan di kalangan keluarga keraton. Intrik politik bahkan sempat terjadi, kendati tak sampai menimbulkan ketegangan yang berlebih. Penolakan terhadap raja wanita atau ratu terus mengemuka sampai kini. Maka, dengan adanya sabda Sultan yang kelima yang disebut Ngudar Sabda yang dibacakan pada Kamis 31 Desember 2015, Sultan HB X seolah hendak menegaskan sekali lagi tentang sikapnya yang tidak akan mundur. Pernyataan Sultan dalam Ngudar Sabda itu bahkan sangat tegas sekali, sebagaimana disebutkan, bahwa siapa pun yang tidak setuju akan dicopot dari jabatannya dan dipersilahkan pergi dari Bumi Metaram.
Keniscayaan Zaman
Sabda Sultan yang disebut Ngudar Sabda, semakin memperlebar jarak pertentangan diantara keluarga keraton. Banyak pihak menilai, Sultan HB X telah menyalahi adat paugeran atau peraturan keraton, karena telah merubah nama gelarnya. Juga memberikan nama gelar Mangkubumi yang dalam sejarahnya selalu diberikan kepada putra laki-laki namun diberikan kepada putri sulungnya, yang diduga kuat memang dipersiapkan sebagai mahkota. Kendati sampai saat ini, Sultan HB X belum secara jelas dan pasti menyatakan, bahwa GKR Mangkubumi adalah bakal calon ratu. Semua masih bersifat sanepa atau pertanda dan simbol dalam bahasa sabda. Apalagi, dalam adat keraton, paugeran atau peraturan adat yang tertinggi adalah perintah raja yang bertahta.
Lepas dari beragam polemik di antara keluarga keraton, di tengah masyarakat Yogyakarta timbul polemik berkenaan dengan keabsahan seorang calon raja. Masyarakat tradisional, masih menganggap raja harus laki-laki. Kendati dalam sejarah begitu banyak ratu yang berhasil memimpin kerajaan, namun masyarakat Jawa pada umumnya masih tetap menghendaki raja laki-laki. Persoalan gender dalam suksesi tahta Keraton Yogyakarta menjadi isu menarik tersendiri.
Namun demikian, dalam perspektif lain, sekiranya Sultan HB X sebagai raja tentu sadar benar dirinya memikul tanggung-jawab besar atas keberlangsungan keraton. Zaman yang terus berubah, menjadi tantangannya yang terbesar. Setiap langkah yang diambil untuk menjawab perubahan zaman menjadi yang paling berat, karena akan selalu menimbulkan polemik. Bahkan, prahara.
Sabda Sultan HB X selama ini, bisa saja merupakan langkah besar Sultan HB X dalam menjawab tantangan perubahan zaman. Bukankah keraton sebagai sebuah tatanan, harus pula bisa mengikuti zaman? Perubahan menjadi keniscayaan. Sabda Sultan HB X, sekiranya juga bisa dimaknai sebagai langkah reformatif. Merupakan jawaban Sultan atas perkembangan zaman dan situasi saat ini. Pasalnya, sebagai pemegang otoritas tertinggi, Sultan sekiranya sudah tanggap ing sasmita atau bisa memperkirakan apa yang terjadi di kemudian hari. Kesultanan Yogyakarta sebagai pewaris Mataram Hadiningrat tentunya juga mau tidak mau harus menyesuaikan dengan zaman.
Paugeran atau peraturan adat keraton yang selama ini mengharuskan pemegang tahta adalah anak laki-laki, terutama di Keraton Yogyakarta sebagai perawis kerajaan Islam, karena ada keterikatan nilai khalifatullah yang berarti khallifah Allah. Maka, keputusan Sultan HB X menghilangkan gelar kalifatullah bisa saja merupakan keputusan yang luwes atas dasar pertimbangan zaman saat ini. Dengan menghilangkan gelar kalifatullah, tidak berarti Sultan HB X menghilangkan tanggung-jawabnya sebagai kalifatullah. Pasalnya, pada hakikatnya kerajaan-kerajaan di Nusantara sejak zaman Hindu sampai zaman Islam, tidak pernah meninggalkan nilai agama sebagai nilai dasar berdirinya kerajaan. Nilai agama telah menjadi pondasi bangunan keraton, baik secara moral maupun intelektual.
Demikian pula dengan kemungkinan munculnya GKR Mangkubumi sebagai Putri Mahkota atau bahkan raja atau ratu. Tanggung-jawab melaksanakan paugeran agama tidak kemudian berarti dilepas atau dihilangkan, hanya karena ia seorang wanita. Karena, pasti juga akan ada peran ulama. Ibarat mundur selangkah untuk maju dua langkah, Sultan HB X mengeluarkan Sabda dan Dawuh Raja demi langgengnya Kesultanan Yogyakarta di tengah pergulatan zaman. 
Sejarah telah membuktikan, kendati kerajaan dipimpin oleh seorang wanita sebagai ratu, peran pemimpin agama tetap dominan dalam mengendalikan dan mengarahkan sang ratu. Ini sebagaimana tampak dalam sejarah Raja-raja di Nusantara. Betapa peran para Resi, Bikhu, Aulia dan Ulama, sangat menentukan arah peradaban pada zamannya masing-masing.
Dengan kaca mata demikian, sabda Sultan HB X merupakan sebuah langkah pembaharuan dan reformasi di lingkungan Keraton Yogyakarta. Namun, mengingat posisi Keraton Yogyakarta dengan hak keistimewaannya, tentu menuntut pula adanya penyesuaian di ranah Undang-undang. Traktat yang pernah dibuat oleh Keraton Yogyakarta dan NKRI harus ditinjau lagi. 
Jika langkah Sultan dianggap sebagai pembaharuan dalam menghadapi perubahan zaman, maka perubahan harus menjadi pokok perhatian yang harus bisa dipahami oleh seluruh warga Yogyakarta. Tentu, semua itu juga dengan beragam perspektifnya masing-masing, karena semuanya sekiranya sepakat, jika hal paling penting dari semua itu adalah Yogyakarta harus tetap menjadi kota tradisi yang aman dan nyaman bagi siapa pun.
Penulis: Koko Triarko / Editor: Sari Puspita Ayu
Lihat juga...