Kisah Pembuat Tepung Sagu Secara Tradisional di Lampung

Tepung Sagu yang telah jadi
CENDANANEWS (Lampung) – Usaha pembuatan tepung sagu berbahan baku pohon aren, pohon rumbia masih ditekuni warga di Desa Kerinjing tepatnya di Dusun Bojo Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan Provinsi Lampung. Tingginya permintaan akan tepung sagu untuk bahan baku pembuatan kue serta berbagai jenis bahan makanan lain membuat salah seorang warga masih menekuni usaha tersebut.
Laki laki yang masih menekuni usaha pengolahan tepung sagu berbahan baku serat serat dari batang Rumbia, Aren atau Enau yakni, Harun AS(43), kepada media ini mengaku sudah menekuni usaha ini puluhan tahun bahkan sejak dirinya belum menikah semasa masih tinggal di daerah Mancak Serang, Provinsi Banten yang sekaligus tanah kelahirannya.
“Sudah sejak bujang saya ikut bekerja di pabrik pembuatan tepung sagu tapi kala itu masih sebagai buruh pengangkut bahan baku dari kebun ke pabrik di Sukabumi istilahnya masih ikut orang, “ungkap Harun kepada media ini di tempat pengolahan tepung sagu miliknya Senin (11/5/2015).
Setelah menjadi buruh pengangkut bahan baku juga terkadang menjadi buruh pengangkut berkuintal kuintal tepung sagu yang sudah siap dikirim ke konsumen, Harun akhirnya mulai memiliki modal untuk membeli peralatan pengolahan tepung sagu.
Pengalaman berkecimpung dalam industri pengolahan tepung sagu sejak tahun 1985 membuat dirinya bisa melakukan kalkulasi perhitungan dari mulai pembelian bahan baku hingga pengolahan dan distribusi serta keuntungannya.
Setelah menikah pada tahun 1987, Harun akhirnya memiliki usaha pengolahan tepung sagu di kampung halamannnya di daerah Macak, Serang Banten. Usaha tersebut ditekuninya dengan masih banyaknya bahan baku berupa pohon aren yang dibeli oleh warga sekitar. Tepung buatannya banyak dibeli oleh pabrik pembuatan soon atau mie, kue serta bahan makanan lainnya.
“Setelah semakin lama saya memiliki usaha ini bahan baku untuk pembuatan tepung sagu semakin menipis sehingga saya kdang berpindah pindah mencari daerah yang masih memiliki banyak pohon enau dan rumbia,”ungkapnya.
Bersama empat anak dan isterinya Harun akhirnya hijrah ke Lampung setelah melakukan survei lokasi dan juga potensi tanaman rumbia dan aren. Harun mengungkapkan faktor ketersediaan bahan baku serta lokasi yang dekat dengan air menjadi hal cukup penting.
“Air yang selalu mengalir 24 jam membantu proses pengolahan serta bahan baku yang mudah didapat sehingga akhirnya saya mendapat lokasi di Kecamatan Rajabasa ini,”ungkap Harun sambil memperlihatkan proses pembuatan tepung dari mulai pemotongan, pemarutan hingga pengendapan.
Harun mengaku menempati lahan seluas 20 x 20 meter tersebut di tepi aliran sungai yang maish mengalirkan air jernih dari Pegunungan Rajabasa. Lahan tersebut disewanya dari warga Desa Kerinjing bernama Sarmun dengan sistem bagi hasil sebesar 8 persen dari pengolahan sagu miliknya.
Harun pun mengungkapkan, proses pengolahan sagu yang ditekuninya masih terbilang sederhana dan ia menjelaskan proses demi proses sampai sagu tersebut berbentuk tepung.
“Kami masih menggunakan cara manual mulai dari pemotongan kayu hingga mengolahnya menjadi endapan tepung sagu basah,” ujar Harun.
Batang batang pohon enau, rumbia dibelinya dau kebun warga dengan sistem estimasi. Harun mengaku dengan melihat pohon yang masih tumbuh ia sudah bisa memperkirakan hasil tepung sagu yang akan diperoleh. Sehingga  jika satu pohon bisa menghasilkan 3 kuintal maka ia berani membeli pohon aren milik warga dengan harga Rp30ribu, jika pohon aren tersebut diestimasikan mampu menghasilkan sebanyak 100 kilogram maka dibelinya dengan harga Rp100ribu.
“Ketepatan perhitungan ini saya peroleh karena berpuluh puluh tahun menekuni usaha ini dan untungnya jarang meleset dari perhitungan awal,”ungkapnya.
Bahkan selama proses pengolahan, Harun mengaku untuk ukuran perbandingan bahan baku dan hasil diestimasikan dengan perbandingan 3:1, dimana 3 bahan baku kayu aren yang masih berat kotor akan menghasilkan sekitar 1 kilogram tepung sagu.
Pengolahan pohon aren tersebut dibantu oleh dua anak laki lakinya serta dua orang karyawan yang diupah sebesar Rp1juta perbulan ditambah dengan bonus persentase dari hasil pengolahan sagu tersebut.

Mula mula kayu berbentuk gelondongan yang dibeli dari warga dipotong dalam ukuran 1 meter lalu dibelah belah menggunakan kampak rimbas untuk memudahkan proses pemarutan. Serat serat terlihat dari kayu kayu aren yang sudah dibelah tersebut, warna putih dari dalam serat menandakan banyaknya endapan yang akan dihasilkan.
Setelah dibelah belah berukuran tertentu agar mudah diolah maka belahan tersebut akan diparut menggunakan alat khusus yang digerakkan dengan mesin diesel. Proses tersebut oleh Harun dinamakan proses penghancuran atau pemarutan.
Setelah diparut, kayu yang hancur tersebut membentuk serat serat dan tepung yang selanjutnya akan dibawa ke bagian pengayakan atau penyaringan. Media air mengalir digunakan dengan disalurkan melalui paralon yang berasal dari bak penampung. Air yang terlihat jernih memisahkan serat serat dengan endapan yang mengalir ke bak penampungan dari semen berukuran sekitar 3×6 meter.
“Setelah ampasnya dibuang maka akan diendapakan selama dua hari hingga membentuk gumpalan tepung, lalu tepung tersebut kita ambil dan dimasukkan ke karung karung ukuran 50 kilogram,”ungkap Harun.
Kepada Cendananews.com Harun dengan rinci menerangkan, setelah dimasukkan ke dalam karung maka tepung sagu tersebut akan ditiriskan hingga kering sambil menunggu pembeli datang. Sementara beberapa bahan lain juga dijemur untuk dikeringkan. Harun mengaku biasanya sebelum kering pihak pembeli yang akan mengirimkan ke Bandung dan Jakarta sudah datang.
Oleh pembeli, per 1 kilogram tepung sagu dibeli dengan harga Rp3.000-Rp3.500,-. Dalam sebulan Harun mengaku bisa memproduksi sekitar 2 ton tepung sagu dengan perhitungan memperoleh uang sebanyak 7 juta belum dipotong untuk biaya operasional dan uang sewa.
“Uang tersebut masih hasil kotor nanti dikurangi gaji karyawan, uang sewa pemilik tanah, beli ban bakar untuk mesin diesel,” ujar Harun.
Meskipun menggunakan cara pengolahan tradisional Harun mengaku proses pengolahan tersebut tidak menggunakan bahan pengawet dan karena air yang berasal langsung dari pegunungan air tersebut cukup jernih. Terkait limbah, Harun mengaku memiliki tempat penampungan khususu sehingga air yang dibuang dari proses pengendapan tidak dibuang langsung ke sungai.
“Air endapan kami endapkan ke beberapa kotak sehingga yang dibuang ke sungai sudah tidak berbau atau kotor, karena saya juga tahu tidak akan membuang limbah ke sungai,”ungkap Harun.
Harun, bersama sang istri Siti Nurhasanah dan keempat anaknya mengaku akan terus melakukan usaha pengolahan tepung sagu selama bahan baku masih bisa didapatkan. Ia mengaku saat ini memang sudah semakin jarang orang menanam aren, rumbia untuk dibudidayakan tapi bahan baku pohon tersebut masih cukup banyak di Lampung Selatan untuk proses pembuatan tepung sagu.
————————————————-
Minggu, 10 Mei 2015
Jurnalis : Henk Widi
Foto     : Henk Widi
Editor   : ME. Bijo Dirajo
————————————————-
Lihat juga...