Kami Tunanetra, tapi Kami Hidup bukan dari hasil Mengemis Bagian II

Para Tunanetra sedang berbincang-bincang diteras Yayasan Humania
CENDANANEWS (Jayapura) – Yayasan Humania atau lebih dikenal para penyandang cacat tunanetra ini didirikan pada tahun 1999 lalu. Namun hingga kini, penghuni yang mayoritas mempunyai keterampilan seperti membuat keset kaki, sula, sapu lidi dan lainnya ini masih menjual hasil karyanya ke depan toko di Kota Jayapura. Ingin tahu kapan terbentuknya yayasan tersebut, ikuti penelusuran tim CND di episode kedua ini.
Baca juga episode pertama [ Kami Tunanetra, tapi Kami Hidup bukan dari hasil Mengemis ]
“Penampungan pertama para tunanetra ini pada tahun 1997, dan jumlahnya ada tiga orang. Kala itu ia menempatkan mereka ke salah satu kos tepatnya Hamadi, jalan perikanan. Saya ada sewa satu kamar untuk mereka bertiga tinggal bersama-sama. Selain bayar uang sewa kos, saya juga bayar biaya makan mereka dan membiayai kebutuhan sehari-hari mereka,” kata Human, sang pendiri dan pemilik Yayasan Humania, beberapa waktu lalu di Kota Jayapura, Papua.
Munculnya ide untuk membentuk vocal grup tunanetra, lanjut Human, ia berikan nama vocal grupnya itu dengan nama Humania. Dikatakannya, tiga pria tunanetra ini terus mengumandangkan puji-pujian kepada Tuhan disetiap gereja yang mengundang mereka.
“Saya berikan mereka kehidupan yang layak sejak dari tahun 1997 sampai tahun 1999, sekitar dua tahun lebih. Dan terus berikan mereka motivasi untuk belajar mandiri dalam hidup, serta semangat untuk hidup layaknya manusia normal,” kata Human.
Para tunanetra yang menerima kedatangan tim CND saat berkunjung ke Yayasan Humania
Tidak ada sedikitpun terlintas di pikiran Human untuk mengambil keuntungan dari tiga orang pertama yang ia bina dan didik untuk mandiri. Tiga orang, lanjutnya yang ia tampung dan didik pertama kali adalah Marmud Rumakeb, Sem Rumbekwan dan Marthen.
“Dari tiga orang ini seorang bernama Marthen telah meninggal dunia, sudah lama. Saya lupa tahun berapa dia meninggal,” jelasnya.
Belajar dari didikan Human inilah, tiga tunanetra berhasil meraih impian mereka dengan membentuk sebuah vocal grup. “Saya lupa nama vocal grupnya, tapi sekarang mereka masih aktif di vocal grup, bahkan mereka sudah punya grup sendiri dengan anggota 8 orang, kini dua orang itu sudah bisa menghidupi diri sendiri. Sudah punya ketua, sekertaris dan bendahara dalam grup itu. Mereka kadang di undang dalam sebuah acara dan setiap minggu sudah pasti mengisi di gereja,” ujarnya.
Yayasan Humania sendiri yang terletak di Polimak II Asri, Jayapura Selatan, dikatakan Human, dulunya tahun sejak tahun 1996 lokasi tersebut adalah kediamannya dan belum dijadikan Yayasan seperti saat ini.
“1996 saya beli, bangun dan saya mulai tinggal saat itu. Sebelum saya punya cita-cita mendirikan satu yayasan, memang saya banyak berkecimpung di bidang sosial, baik di Gereja maupun di Rumah Sakit,” ungkap pria berdarah campuran Unjung Pandang dan China ini.
Penganut agama Kristen Pantekosta ini belum pernah menjalankan sebuah yayasan. Ini sudah menjadi bawaan dirinya yang sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) ia sering membantu orang-orang yang kekurangan dari segi ekonomi saat berada di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
“Sampai di Papua, saya berkecimpung membantu para janda-janda, anak jalanan. Dari situlah saya ingin sekali membangun yayasan. Setelah saya melihat tunanetra ini, sehingga saya membentuk mereka, sifat tunanetra mandiri, tahun 1997, 1998, dan resmilah sebuah Yayasan Humania pada tahun 1999,” dijelaskan sang motivator dari tunanetra di Kota Jayapura.
Nampak gedung Yayasan Humania yang butuh uluran tangan untuk direnovasi
Tercetusnya Yayasan Humania pada saat itu, dijelaskan Human, lantaran aktifitas keterampilan para tunanetra mulai dilihat khalayak umum, mulai dari Gereja, dan Instansi Pemerintah. Datanglah seseorang untuk memberikan jalan keluar kepada Human, yakni membentuk satu wadah yang berbadan hukum, agar komunitas tunanetra dibawah asuhannya tidak illegal dimata hukum dan dinyatakan resmi di Irian Jaya (kini Papua).
“Dari Dinas Sosial Provinsi Papua, Pak Alnfons Rumbekwan waktu itu menyuruh saya membuat satu badan hukum, sehingga saya menghimpun beberapa anggota untuk buat yayasan. Waktu itu Pak Alfons masih jabat Kepala Bagian Rehabilitasi Penyandang Cacat di Dinsos Provinsi Papua, tahun 1998. Sehingga keluarlah satu Akta Pendirian pada bulan Februai 1999, tanggalnya saya lupa,” kata Human.
Berdirinya yayasan itu, menurut Human, anggota tunanetra mulai berikan informasi kepada rekan, maupun keluarganya yang berada di Kabupaten Biak untuk ikut bergabung bersama mereka dan tinggal bersama Human di yayasan tersebut. Sedangkan soal nama yayasan, dikatakan Human, berasal dari para tunanetra itu sendiri sampai tercetus nama Humania, ia kaget kenapa harus diberi nama seperti itu.
“Saya sendiri kaget, mereka bilang ada yang dari Manokwari dan Biak. Yang paling banyak dari Biak. Setelah mereka rasa nyaman di Yayasan Humania, mereka lantas keluar dari Panti Sosial Bina Netra (PSBN) yang ada di Biak dan berbondong-bondong ke yayasan ini di Kota Jayapura. Mereka masuk ke sini tidak mendaftar, mereka rasakan bahwa rasa saling memiliki dan saya merasakan mereka itu bagian dari pribadi saya,” kata pemilik kios Ria Organda di jalan Perikanan, nomor 48, Hamadi, Jayapura Selatan.
Pendiri dan Pemilik Yayasan Humania, Human saat melayani pembeli di kiosnya
Dirinya mengaku pernah mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial pada kala itu sebesar Rp 5 juta. Dari dana tersebut ia belikan bahan dasar untuk membuat Keset Kaki sabuk kelapa, Sapu Lidi, Sula Tali Rafia (pembersih debu).
“Saya belikan semuanya dengan pembagian kelompok, juga saya berikan mereka uang transportasi untuk menjualnya sendiri. Saya tidak meminta apa-apa dari mereka, intinya saya ajar mereka hidup mandiri agar dapat bersaing dengan masyarakat lainnya yang tidak memiliki kekurangan seperti mereka,” imbuhnya.
Human pun menjelaskan, keberadaan mereka kadang duduk di depan toko menjual hasil keterampilan yang mereka. “Memang seakan-akan seperti pengemis, Jadi kami sudah berbicara juga di Dinas Sosial Kota Jayapura maupun Provinsi Papua, bagaimana jalan terbaiknya? Supaya mereka punya jualan ini dengan hasil karya mereka dijual dalam satu tempat. Supaya mereka dapat menata jualan mereka dengan rapi, dan kami yayasan siap memberikan mereka fasilitas seragam,” tuturnya.
Menurutnya, pembicaraan soal tempat kepada pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Jayapura telah diusulkan pihak yayasan untuk mendapatkan satu atau dua stan di Pasar Hamadi, Kota Jayapura.
“Itu baru masuk program untuk Yayasan Humania mendapat dua stan, dan yayasan memfasilitasi para penyandang cacat tunanetra, senimannya maupun tariannya dan bekerjasama dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Itu sudah 4 tahun lalu dibicarakan, tapi sampai sekarang belum ada realisasinya dari pemerintah,” keluhnya.
pendiri Yayasan Humania yang bernama China, Chin Liy Ming juga mengungkapkan, kini teman-temannya yang menghuni yayasan mengalami banyak kendala mulai dari modal untuk membeli bahan dasar keterampilan yang biasa mereka kerjakan.
“Sekarang sudah mahal sekali, biaya transportasi saja sudah Rp 1 juta, belum lagi biaya beli bahannya seperti sabuk kelapa, tali rafia dan lainnya. Kami dari yayasan juga tidak mampu membeli kebutuhan itu,” ungkapnya.
Pendiri dan Pemilik Yayasan Humania, Human saat di kios miliknya
Untuk memberikan mereka aktifitas dan modal dasar, ia membelikan bahan jadi dari pasar seperti Keset Kaki, Sula, dan lainnya. “Saya biasa beli keset dan bagi-bagi ke setiap penghuni yayasan untuk dijual kembali dan modalnya digunakan biaya sehari-hari,” ujarnya.
Sementara itu salah satu penghuni Yayasan Humania, David Womsiwor mengungkapkan pemberian nama yayasan di kala itu, ia dan teman-teman yang memberikan nama Humania. “Pak Human orang China yang saya kenal sangat baik dengan jiwa sosialnya yang tinggi, makanya saat itu kami sepakat beri nama Humania,” kata David.

Bersambung…

Lihat juga...