Kami Tunanetra, tapi Kami Hidup bukan dari hasil Mengemis

Agnes Inur (46) menunjukkan keset kaki yang dibeli dan akan dijual kembali 
CENDANANEWS (Jayapura) – Kekurangan fisik tak mengurangi semangat para tunanetra yang mengalami gangguan pada mata sejak lahir ini untuk terus mengais rejeki demi kelangsungan hidup mereka. Simak penelusuran tim CND berikut ini. 
Tunanetra seseorang yang tidak bisa melihat ataupun ada gangguan pada indra penglihatannya, dimana para tunanetra ini sudah pasti harus meningkatkan indra  perabaan, penciuman, pendengaran mereka.
Khusus di Kota Jayapura, sejumlah tunanetra di tampung dalam satu perkumpulan yang di namakan Yayasan Humania. Untuk menjumpai mereka, anda tidak perlu jauh-jauh ke Yayasan yang terletak di Polimak II Asri. Distrik Jayapura Selatan. Para penyandang tunanetra ini sering dijumpai di emperan-emperan toko atau lebih tepatnya di depan pintu masuk toko, supermarket maupun Mall di ibukota provinsi Papua.
David Womsiwor (kiri) saat berjalan menuju teras Yayasan Humania
Tidak jarang mereka dianggap pengemis bagi pengunjung yang keluar masuk toko atau mall, dengan memberi selembar uang kertas ke tangan sang tunanetra yang berada disitu. Dari pantauan yang CND, setiap satu toko ataupun mall, seorang tunanetra pasti ditemui.
“Kami bisa di depan toko, setiap kadang satu orang saja, teman-teman lain di toko yang lain, kami tidak ada tempat satu lokasi untuk berjualan seperti keset, sula, sapu lidi atau sapu ijuk,” kata tunanetra David Womsiwor kepada CND di Kota Jayapura, Jumat (17/04/2015) beberapa waktu lalu.
Dilihat dari dekat, gedung atau rumah tempat mereka tinggali ini tampak sedikit tak terawat. Beberapa sudut ruangan tak pernah di cat ataupun di renovasi lagi. Lokasinya tidak jauh dari pusat Kota Jayapura. Lima tahun silam, puluhan penghuni Yayasan Humania ini aktif dengan kerajinan yang mereka sudah miliki sejak sekolah di Kabupaten Biak.
“Saya sama dengan teman-teman lain yang ada disini, tiap hari cari hidup hanya menjual keset. Tapi sudah berapa tahun ini kami sudah tidak membuat keset asli buatan tangan kami dengan bahan dari sabuk kelapa, karena modalnya sangat mahal,” tutur sang pria yang mempunyai seorang anak bernama Benny Womsiwor (26) yang kini telah bekerja di Tembagapura, Mimika, Papua.
Yuliana Sapioer (kacamata) didampingi Hileri Susmiati menunjukkan alat membuat keset kaki dan hasil sula dari bahan tali rafia
Modal sabuk kelapa dan transportasi yang ditotal dengan harga 2 jutaan rupiah itulah yang menghambat produksi para tunanetra untuk membuat sebuah keset. Dimana, keset kaki ukuran satu pintu hasil buatan mereka di jual dengan harga 250-350 ribu rupiah, bahkan tak jarang ada pemesanan pembuatan keset kaki ukuran 2 meter atau seukuran dua pintu rumah dengan harga jual 500 ribu rupiah.
“Sekarang kami hanya andalkan yang simple saja, seperti sapu lidi, sapu ijuk dan keset, kami beli di pasar terdekat, lalu kami jual dengan ambil keuntungan sekitar 5-10 ribu rupiah,” ucap sang pria berusia 59 tahun itu.
Semangat dan kegigihan para tunanetra ini patut diperhitungkan, lantaran modal berupa uang tak ada didepan mata, seperti contoh membuat sebuah sula dengan tali raffia. Mereka dapat menghasilkan sebuah hasil karya hasil daur ulang sampah.
“Kalau uang sudah tidak ada dan kami butuh untuk membeli beras dan lainnya, kami kumpul sisa-sisa pembungkus indomie atau supermie untuk di buat sula dan kemudian kami jual dengan harga Rp 25 ribu. Kadangan kalau kami buat 5-10 sula, kalau beruntung dalam sehari bisa laku 1 atau 2, tapi kalau tidak beruntung, kadang laku satu sula dalam satu minggu, kami tetap semangat, karena berkat dari Tuhan pasti ada, walaupun jumlahnya kecil,” tuturnya.
Alat sederhana pembuat Keset Kaki Sabuk Kelapa yang ditunjukkan Yuliana Sapioer
Tidak ada tabungan yang mereka bisa harap untuk membayar setiap ada kebutuhan mendadak seperti membeli obat dan lainnya. “Saya tidak bisa sisihkan uang untuk ditabung, karena sula yang dijual kadang tidak laku, karena mungkin konsumen lebih memilih beli yang bagus di toko-toko, contoh kalau saya buat sula dengan modal uang Rp 25 ribu untuk beli bahan tali rafia, jadinya 8 sula dan saya jual Rp ribu setiap sulanya. Itu sangat jarang langsung laku. Kadang berminggu-minggu baru habis,” keluhnya.
Salut akan semangat, CND pun bergerak kearah kamar mereka. Tampak sekali setiap kamar yang mereka tinggal berukuran 3 x 4 meter itu di huni satu keluarga dengan berbagi satu dapur dan satu kamar mandi.
“Iya kami harus saling berbagi dan saling memahami kondisi yang ada. Memang kami manusia, dan sudah pasti ada saling iri ataupun lainnya di dalam. Tetapi kami berusaha untuk menjaga agar tetap damai dalam penampungan,” tegasnya.
Tidak puas, CND juga kunjungi satu kamar yang dihuni satu keluarga berjumlah empat orang. Agnes Inur (46), penghuni kamar yang juga tunanetra ini mangaku sudah tidak produksi keset kaki yang mereka buat dari kelincahan tangan mereka.
“Saya hanya beli di pasar dengan harga Rp 70-100 ribu, terus saya jual Rp 100-125 ribu untuk tambah-tambah modal beli keset lagi, selebihnya saya beli untuk makan. Untuk uang sekolah anak-anak saya buat sula dari pembungkus supermi saja,” kata ibu beranak dua ini.
Yuliana Sapioer (56) saat menyapu untuk menerima tim CND berkunjung
Ibu beranak dua pindahan dari Kabupaten Biak pada tahun 1999 beradaptasi bersama rekan-rekannya di Yayasan Humania ini juga tak pungkiri jika kehidupan mereka memang harus dipenuhi dengan kerja keras yang giat. “Harus semangat, karena anak-anak harus sekolah sampai selesai,” ujar Agnes.
Selanjutnya, CND ingin mengetahui soal pembayaran lampu, listrik dan air di Yayasan tersebut, Yuliana Sapioer (56) yang juga tunanetra sekaligus pembuat keset sabuk kelapa ini mengacungkan jarinya menandakan dialah yang selalu pergi membayar tagihan tersebut.
“Ini saya baru pulang bayar air di PDAM Entrop, bayar air dan lainnya kami patungan, tapi sering di bantu sama Yayasan,” kata Yuliana yang sering gunakan kacamata hitam itu.
Penghuni yayasan yang sudah 15 tahun ini mengaku sudah sejak beberapa tahun terakhir mereka sudah tidak produksi keset kaki bahan dari sabuk kelapa, lantaran modal yang cukup besar.
“Kami sudah pernah minta bantuan ke Dinas Sosial Kota Jayapura, kami minta jangan terlalu besar, berikan bantuan Rp 1 atau Rp Rp 2 juta saja, supaya kami hasilkan sesuatu dari keterampilan kami. Itu kami minta bantuan tahun 2014 lalu dan sampai sekarang belum ada jawaban,” kata ibu yang mempunyai tiga orang anak dan dua orang cucu.
Saat ditanya berapa modal aslinya untuk beli bahan kelapa? Ia mengaku sekitar Rp 2 juta 500 ribu. “Kalau beli kelapa 1 kubik harganya Rp 1.500.000, untuk angkutan truknya Rp 1 juta, modal untuk buat keset itu saja mahal, jadi kalau sudah jadi kami rencana jual setiap keset ukuran dua pintu harganya Rp 1 juta 500 per keset,” ujarnya.
Satu keset kaki dari bahan sabuk kelapa, jika dibuat sendiri memakan waktu satu minggu. Namun tak jarang mereka melakukan secara berkelompok. Dimana, hasilnya akan di bagi rata agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial dalam Yayasan tersebut.
“Kalau mau buat sendiri bisa sampai satu minggu hanya satu keset, kadang kalau yang kuat begadang, bisa cepat jadi, biar sendiri bisa sampai 4 hari saja. Paling cepat kalau perkelompok, karena hanya tiga hari sudah jadi satu keset. Tapi sekarang sudah sekitar 2-3 tahun sudah tidak produksi itu lagi, karena modal tidak bisa penuhi. Kami tidak mau dibilang pengemis kalau kami di jalanan, kami punya keterampilan, makanya kami jualan hasil karya kami,” kata Yuliana dengan nada sendu dan murah senyum itu.
Yos Rumsaro, salah satu pengurus Yayasan Humanis menuturkan dari 65 jiwa penghuni Yayasan Humania ini terdiri dari 13 Kepala Keluarga yang terdiri dari 18 laki-laki, 14 perempuan dan anak-anak sekitar 33 orang, kalau di total semuanya ada 65 jiwa.
“Disini sifatnya menampung para tuna netra dan memberikan ruang kepada mereka untuk berkreatif demi meneruskan hidup mereka,” kata Yos.
Di yayasan ini, lanjut Yos, ada satu penyumbang atau donator yang setiap bulannya berikan bantuannya kepada seluruh penghuni yayasan. “Bukan berupa uang, tapi berupa sembako ke setiap kepala keluarga. Donatur itu seorang pengusaha Papua, namanya Melky Suebu, beliau lakukan itu secara rutin tiap bulan, seperti beras setiap kepala keluarga 15 kilogram, kadang setiap tahun saat jelang hari raya Natal, penghuni yayasan juga diberikan sejumlah uang walaupun sedikit,” ujarnya.
Saat di singgung sumbangan rutin dari Pemerintah Daerah (Pemda), Yos dengan mata sedikit berkaca-kaca mengungkapkan sampai saat ini tidak ada secara rutin yang diberikan Pemda ke penghuni maupun yayasan.
“Para tuna netra akan mendapatkan bantuan, jikalau Yayasan mereka di kunjungi instansi-instansi yang ada di Kota Jayapura. Itupun, sangat jarang sekali, kadang setahun hanya sekali, malah kadang tidak ada sama sekali,” keluhnya.
Tampak depan Yayasan Humania di Polimak II Asri, Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua
Dirinya sendiri yang mengabdi di Yayasan sejak tahun 1996 itu sangat bangga dengan kegigihan para tuna netra yang ada di yayasan tersebut. Bagaimana tidak bangga, kata Yos, mereka menjual hasil olahan tangan seperti karpet ijuk, sapu lidi, sapu ijuk dan sula ke sekitaran Kota Jayapura..
“Dari pemerintah tidak ada sama sekali pernah melakukan pelatihan atau kurus di bidang keahlian mereka masing-masing, mereka ini dapat membuat keset kaki, sula dan sapu lidi atau sapu ijuk dari Kabupaten Biak, saat mereka sekolah disana,” ujar Yos yang kini berusia 36 tahun.

Bersambung…

Lihat juga...