23 Tahun Lalu, Presiden Soeharto Desak Rombak DK PBB

Pertama, menegaskan bahwa tata dunia selama ini tidak adil dimana keputusan PBB hanya di dominasi oleh veto lima negara (RRT, Perancis, Rusia, Britania Raya, dan AS). Komposisi Dewan Keamanan tetap itu merupakan konstruksi warisan alam berfikir dan situasi PD II. Ketidakadilan relasi itu diusulkannya untuk dirombak dengan memperluas keanggotaan DK tetap. Tentu saja negara-negara besar yang di untungkan dengan komposisi DK tetap selama ini terancam eksistensinya. Dalam hal mana Presiden Soeharto menggunakan kemayoritasan GNB di PBB sebagai instrumen pendesak. Pidato tersebut bukan saja bermakna usulan, namun lebih merupakan gerakan yang didesakkan bersama-sama oleh negara-negara Non Blok yang jumlahnya mayoritas di PBB. Presiden Soeharto menekankan bahwa GNB mewakili 65% warga dunia dan oleh karena itu layak memiliki wakil yang proporsional di DK PBB.

Kedua, merupakan wujud revitalisasi Gerakan Non Blok /solidaritas Asia Afrika (semangat Bandung) yang sebelumnya kehilangan arah gerakan paska berakhirnya perang dingin. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, GNB menemukan kembali arah perjuangannya dalam bentuk perjuangan terwujudnya tata dunia baru yang lebih adil dan hal itu dimulai dari restrukturisasi DK PBB.
Tata Dunia Baru yang lebih adil ini sudah seringkali di perjuangkan/disuarakan oleh Presiden Soeharto, melalui berbagai kesempatan sebelumnya. Seperti halnya ketika menerima kunjungan PM Margaret Thatcher, 9 April 1985 ke Indonesia, Presiden Soeharto mengemukakan bahwa “Semua bangsa (perlu) membangun tata hubungan baru yang lebih adil dan lebih menjamin keselamatan bersama baik di lapangan ekonomi, politik maupun keamanan. Semua bangsa yang besar maupun kecil, yang sedang membangun ataupun yang telah maju, yang kaya maupun miskin, perlu bekerjasama bahu membahu sebagai partner yang sederajat dalam mengatasi masalah-masalah bersama yang menyangkut nasib seluruh umat manusia. Ini tentu meminta kemauan politik dan ketetapan hati dari semua pemimpin bangsa-bangsa di dunia”.
Ketiga, hidupnya kembali dialog utara-selatan. Sebagaimana di tulis Suara Pembaharuan 25 September 1992, mayoritas anggota PBB menilai Presiden Soeharto berada dalam kedudukan paling baik untuk memimpin dan menghidupkan kembali dialog Utara-Selatan. “Sepenuhnya ia berada pada kedudukan yang baik untuk memimpin dihidupkannya kembali dialog Utara Selatan”, ujar Menlu India, Eduardo. “Ia akan mengusahakannya. Biarkan ia sepenuhnya melakukannya”, ujar Eduardo lagi.
Pandangan yang sama juga diberikan oleh menlu Mesir, Al-Jazair, Palestina. Australia, Selandia Baru. Begitu pula para menlu dari negara-negara lain. Intinya menyatakan “Ia (Soeharto) berada dalam posisi baik sekali untuk melakukan hal ini (dialog utara selatan)”. Bahkan Direktur Unicef menyatakan Pidato Presiden Soeharto merupakan pidato terbaik di Majelis Umum PBB yang didengarnya selama ini.
***
Kini, kisah kemashuran Indonesia dalam memimpin poros tengah dunia melalui GNB untuk terwujudnya tata dunia yang lebih adil, memang tinggal kenangan. Tapi bukan berarti tidak bisa di ulang, bahkan gagasan itu diwujudkan lebih nyata lagi.
Semenjak Presiden Soeharto menyatakan berhenti, peran internasional Indonesia meredup. Indonesia seakan tidak memiliki lagi kartu-kartu yang bisa dimainkan untuk meneguhkan peran secara berwibawa dalam percaturan Internasional.
Sebagaimana sering diungkapkan Presiden Soeharto bahwa “pelaksanaan politik luar negeri hanya akan sukses jika ada dukungan dari keberhasilan kita di dalam negeri. Keberhasilan di dalam negeri itu terutama tergantung pada keberhasilan kita didalam melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat”.
Indonesia harus membangun stabilitas internalnya terlebih dahulu (ipoleksosbud hankam) sebelum mampu terbang lebih tinggi lagi menorehkan prestasi dalam percaturan internasional. Kiprah Indonesia dalam percaturan internasional tentu tidak bisa diterima jika hanya menempatkan Indonesia dalam peran pinggiran. Apalagi kini memasuki “Abad Asia”, pendulum dan dinamika ekonomi bergerak dalam porsi besar ke Asia. Jangan sampai pergulatan internasional justru menyebabkan Indonesia tidak bisa mandiri dan berada dalam bayang-bayang dominasi bangsa lain. Jangan sampai dalam Abad Asia, kekayaan Indonesia jutru dinikmati oleh dominasi bangsa-bangsa lain.
Lontaran isu “Reformasi PBB” oleh Presiden Joko Widodo, kadarnya memang jauh dari apa yang dilakukan oleh Presiden Soeharto yang membalut gagasannya itu dengan dukungan solidaritas Gerakan Non Blok. Namun apa yang di lontarkan Presiden Joko Widodo setidaknya mengingatkan kembali memori bangsa-bangsa Asia Afrika. Bahwa pernah suatu ketika, 23 tahun lalu, bangsa-bangsa Asia Afrika telah bersama-sama mendesakkan niat mulianya untuk terwujudnya tata dunia yang adil melalui restrukturisasi PBB dengan merombak DK PBB terlebih dahulu.

Lihat juga...