
Saya gembira Penerbit Ufuk menerbitkan buku ini yang dapat membangkitkan kesadaran sejarah bangsa kita dalam rangka mendorong pembangunan peradaban baru di masa depan.
Jimly Ash Siddiqie
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia
CENDANANEWS (Resensi) – Ini adalah salah satu buku fenomenal dengan menyajikan bukti-bukti baru tidak hanya dari sisi arkeologis dan geologis saja perihal asal-usul manusia bahkan peradaban dunia yang dimulai dari paparan Sunda Asia Tenggara. Berlawanan dengan teori umum yang dianut oleh arkeolog maupun sejarawan dunia mengenai asal mula keberadaan manusia berawal dari Afrika dengan teori yang dikenal “Out of Afrika”.
Stephen Oppenheimer adalah seorang dokter lulusan Oxford University yang melakukan riset penyakit malaria di kawasan Pasifik. Ketertarikannya tentang mutasi gen pada pasien yang kebal malaria membawanya pada riset tentang asal-usul serta penyebaran umat manusia.
Dalam buku Eden in The East Oppenheimer tidak hanya menampilkan hasil kajiannya sendiri namun beliau memperkaya dengan studi literatur hasil penelitian ilmuwan lain baik secara genetis, filologis, arkeologis, maupun mitologi di berbagai kawasan. Oppenheimer juga melakukan penelitian dengan survey ke sejumlah lokasi untuk meneliti budaya dan bahasa.
Berdasarkan bukti geologis diberbagai lokasi diseluruh dunia Oppenheimer berpendapat bahwa bumi pernah mengalami tiga banjir besar akibat pelelehan es (paska glassial) di kutub utara yaitu sekitar 14.000 tahun, 11.500 tahun dan 7500 tahun lalu. Pada masa zaman es dimana permukaan air laut dibawah 100 meter dari sekarang maka daratan di Asia tenggara masih menyatu sebagai benua Paparan Sunda yang meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan dan seluruh Asia. Disinilah dalam hipotesis Oppenheimer tentang asal mula peradaban manusia modern dimulai.
Oppenheimer tidak sendiri dalam hal ini, arkeolog Amerika Wilhelm Solheim sebelumnya memiliki tesis tentang jaringan perdagangan maritim pulau dan pesisir diseluruh cincin Pasifik dan Kepulauan asia Tenggara hingga ke Madagaskar pada masa 7000 tahun lalu, Solheim memberi julukan budaya “Nusantao” pada jalur perdagangan ini.
Namun sebagian besar ahli linguis Austronesia (kelompok bahasa mayoritas Asia Tenggara) tidak sependapat dengan teori ini. Arkeolog Australia Peter Bellwood juga memiliki pandangan lain bahwa asal-usul nenek moyang Asia Tenggara berasal dari daratan Cina, Taiwan (Formosa) lalu bermigrasi melalui Filipina hingga ke Indonesia.
Oppenheimer tidak sependapat dengan hal itu, sebab bila Bellwood menggunakan teori pola bercocok tanam berbasis beras yang ditemukan di sungai Yang Zte sekitar 3500 SM, padahal bukti arkeologis terbaru menurut Arkeolog Amerika Joyce White pada gua Sakai di Kalimantan keberadaan beras sudah ada sejak 9.260 SM, di semenanjung Thailand 7000 SM jauh sebelum masa Yang Ztse. Dari sisi filologis pun Oppenheimer berpendapat kalau bahasa itu dapat berubah bahkan punah, walaupun begitu dari segi filologis Oppenheimer masih memiliki bukti pendukung.
Dari segi budaya berikutnya pun pendapat Oppenheimer mendasarkan pada tradisi Tulup atau sumpit bambu untuk berburu dengan cara ditiup memiliki akar sejarah dan sebaran dari borneo/Kalimantan, dimana budaya ini tidak ditemukan di Taiwan. Selain itu yang menarik adalah budaya tembikar Lapita yang berasal dari kawasan berbahasa Melanesia di Papua Nugini dan kepulauan Bismark (Pasifik). Oppenheimer berpendapat adanya hubungan perdagangan tua bangsa Indonesia/Asia Tenggara dengan kebudayaan Melanesia/Pasifik berikut budaya makan pinang, makan sagu, pola makan umbi-umbian bahkan hingga ke mitologi Habil dan Qabil (Habil – Qain).
Hubungan budaya Asia Tenggara dengan panduduk Melanesia/Pasifik menjadi krusial dalam pembahasan buku ini, sebab memiliki konektifitas dengan ciri khas ukiran dan lukisan pada artefak-artefak budaya Sumeria hingga Skandinavia. Oppenheimer percaya bahwa sesungguhnya bangsa Sumeria yang diyakini sejarawan dunia sebagai budaya tertua didunia ternyata memiliki nenek moyang Asia Tenggara khususnya Indonesia yang bermigrasi akibat banjir (akhir zaman es).
Kisah perseteruan Habil dan Qabil, banjir Nuh, bahkan kisah memakan buah terlarang merupakan mitologi yang terlebih dahulu berkembang didaerah populasi Pasifik dan asia Tenggara di Papua Nugini dan Maluku Indonesia bahkan wilayah lain sepanjang Nusantara.
Secara genetis Oppenheimer mendasarkan hipotesisnya pada mutasi gen Talasemia alfa yang banyak dimiliki pada populasi pesisir Papua Nugini dan Pasifik akibat mutasi genetik untuk kebal malaria. Pendapat ini didukung oleh penelitian ahli genetika Susan Serjeantson dari Australia bahwa penanda hematologis Asia ditemukan di sepanjang pesisir utara Papua Nugini. Sementara penyebaran gen Hemoglobin E abnormal yang bisa melindungi dari malaria menyebar ke Utara Asia tenggara dengan basis bahasa Austro Asiatik. Penghapusan gen tunggal jenis alfa juga ditemukan pada populasi Afrika, Barat Daya Pasifik hingga Mediterania.
Buku dengan lebih dari 800 halaman ini sangat kaya oleh dialektika berbagai teori disiplin ilmu untuk menguak misteri peradaban manusia. Sebagai bangsa Indonesia seharusnya bangga bahwa keaneka ragaman suku, budaya dan bahasa Nusantara tidak sekadar aset kita sebagai bangsa dan negara namun menjadi bagian penting bagi keseluruhan umat manusia.