Rasa kasihan terbersit muncul saat berada di kerumunan penumpang pejalan kaki yang akan menyeberang ke Pelabuhan Merak dari Pelabuhan Bakauheni Lampung Selatan. Suara tangis, jeritan, empati bercampur aduk saat melihat anak anak berusia di bawah lima tahun juga anak anak yang turut bersama orangtua berlibur di beberapa tempat baik di Jawa maupun Sumatera dengan menggunakan moda transportasi umum: mobil, dan akhirnya kapal laut yang ada di Selat Sunda.
Bisa dibayangkan berapa kali anak anak ini dalam kondisi kurang menyenangkan, kurang nyaman, bahkan kurang aman dalam pemikirannya. Hal tersebut masih ditambah dengan menunggu, mengantri selam berjam jam, sesuatu yang mungkin akan terkenang selama hidupnya bahwa perjalanan saat liburan menggunakan moda transportasi laut harus melalui proses demikian.
Lihat saja: saat para calon penumpang pejalan kaki ini turun dari kendaraan dari berbagai tempat di Pulau Sumatera menempuh perjalanan selama berjam jam. Setelah itu sesampainya di pelabuhan Bakauheni antrian calon penumpang pejalan kaki masih mengantri untuk membeli tiket itupun membutuhkan waktu hampir lebih dari 20 menit dalam situasi lonjakan penumpang pejalan kaki yang meningkat, setelah itu 20 menit lagi harus menunggu di loby ruang tunggu, ditambah lagi nyaris 30 menit lebih berada di Gangway menanti kapal yang berasal dari Merak menuju Bakauheni yang membutuhkan waktu sandar cukup lama.
Semua situasi tersebut bagi orang dewasa tentunya masih bisa ditahan meski banyak juga orang dewasa yang tak tahan. Dalam kenyataannya kulihat di Gangway Pelabuhan Bakauheni banyak anak terlihat gelisah, menangis, merengek dan bahkan meski dalam gendongan pun mereka terlihat tak nyaman. Saat akan menuju kapal pun berdesak desakan dengan para penumpang dewasa membuat situasi tersebut tak hanya membuat rasa tak nyaman tapi juga bisa membahayakan: secara psikologis, secara fisik.
Pertanyaannya apakah hal tersebut penting untuk dibahas? Bagi yang tak pernah mengalami membawa anak kecil dalam perjalanan dengan kerepotan membawa barang sekaligus mungkin tak ada masalah. Namun menjasi sebuah pertanyaan saat anak anak tersebut ikut berdesak desakan, bahkan menangis karena berhimpit himpitan dengan para penumpang dewasa lain. Bagi yang masih Balita mungkin belum bisa mengungkapkan secara lisan namun hanya bisa menangis situasi tak nyaman yang dirasakan dalam perjalanan tersebut.
Ini bukan domain saya untuk membahasnya namun bagi orang orang yang berkompeten dan memperhatikan hak hak anak di ruang publik pernahkah terbersit hal demikian dan pernahkah terbuka matanya dengan kenyataan kenyataan ini. Memperhatikan hak hak anak memang banyak dimensinya bahkan sampai sampai ada penilaian tentang KOTA LAYAK ANAK. Nah menggelitik bagi saya saat ini adalah domain dari sebuah sistem transportasi massal. Bukan berarti bahwa nantinya akan ada khusus alat transportasi khusus anak anak, bukan itu. Tapi sebuah prioritas agar kenyamanan bagi anak anak ini memang menjadi sebuah pokok bahasan bagi para pemangku kepentingan transportasi publik dan pemerhati anak.
Solusinya Bagaimana mengatasi hal yang menurut pengamatan saya terulang ulang setiap tahunnya secara nasional. Tak hanya di tempat yang saya bahas ini yakni dari mulai Gangway, loby tiket tapi juga di area area parkir di mana anak anak pun ikut dibawa dengan kendaraan roda dua dengan keamanan yang minim, berada diantara raungan kendaraan dan asap kendaraan dari ribuan knalpot kendaraan saat akan masuk dan turun dari kapal Roll On Roll Off di Selat Sunda. Meskipun di beberpa kapal Roro seperti penulis lihat sudah menyiapkan beberapa fasilitas ruangan khusus untuk anak anak namun tak semua kapal memilikinya.
Pertanyaannya adalah apakah untuk melakukan perjalanan menggunakan moda transportasi massal jenis kapal laut ini terus menerus akan menjadi momok bagi anak anak dengan segala ketidaknyamanan yang ada. Sebuah pemikiran sederhana dariku yang mungkin cukup ruwet dipikirkan adalah adakah jalur khusus untuk para anak anak ini yang merupakan anak anak negeri ini? Mulai dari jalur pembelian tiket, jalur menuju ke gangway dan kapal. Semuanya terlihat sederhana namun mungkin dalam prakteknya tak akan mudah dilaksanakan. Membludaknya penumpang pejalan kaki selalu memberi dampak traumatik bagi anak anak.
Hal tersebut kurasakan sendiri saat seorang ibu berusaha keluar dari himpitan antrian karena tak tahan anaknya menangis karena panas dan terhimpit dalam waktu yang lama. Kondisi ini selalu akan terus terjadi dan menjadi pemandangan yang seolah wajar setiap tahun baik saat arus mudik, arus balik Lebaran maupun arus liburan yang panjang.
Ke depan kenyamanan untuk anak anak yang ikut orangtuanya yang diperkirakan juga mencapai ratusan bahkan ribuan pun harus diperhatikan. Jalur gangway yang cukup sempit membuat anak anak harus ikut berdesak desakan bersama orangtua mereka dengan resiko: lepas dari pengawasan serta resiko resiko lainnya. Dampak psikologis ketidaknyamanan tersebut mungkin saja tak secara langsung dialami atau dirasakan sekarang. Secara ilmu psikologis mungkin ini bisa dijelaskan dan pendidikan yang akan memberi anak anak ini pengertian betapa transportasi publik di Indonesia belum nyaman.
Semoga pihak pihak terkait memikirkan bagaimana anak anak juga mendapatkan hak yang layak untuk melakukan perjalanan di moda transportasi publik yang satu ini yakni kapal laut. Ini harus dicarikan solusi bersama baik oleh Komnas Anak, Pemerhati Anak, Dunia Pendidikan dan Transportasi Publik.
Agar mata kita terbuka foto foto berikut ini bisa menjadi kenyataan anak anak ini berada dalam situasi yang tak nyaman saat akan naik kapal (teriring permohonan maaf jika anak anak ini ada dalam foto berikut ini) :