Gerakan Banteng 5.0 dan Koperasi Mahasiswa

Setelah “Gerakan Banteng” gagal, muncul “Program Ali-Baba”. Era 1950-an akhir. Ali = pengusaha pribumi. Baba = pengusaha non-pribumi. Keduanya digabungkan. Ali belajar dari Baba. Baba wajib membimbing Ali. Program ini juga tidak berhasil.

Akhir tahun 1990-an, muncul Adi Sasono. Menteri Koperasi era transisi Orde Baru-Reformasi.  Kredit diberikan besar-besaran. Untuk mencetak wiraswatawan pribumi. Juga memperbesar skala usaha koperasi. Kredit itu macet. Ia dengan lugas berkilah “anggap saja itu sekolah wirausaha bagi rakyat”. “Kalau gagal, kasih lagi kredit. Sampai mampu berdikari”. “Konglomerat ngemplang BLBI ratusan triliun saja bebas”. Cetusnya.

Semua usaha itu belum mampu menjawab tantangan utama: “tampilnya barisan enterprenuer pribumi”. Kegagalan program-program itu dipicu sebab sama: “seleksinya tidak akurat”. Jatuh kepada orang-orang yang tidak memiliki motif entrepneur. Aji mumpung terhadap kesempatan modal besar. Bahkan untuk konsumtif”.

Situasi Indonesia hari ini tidak beda dengan latar belakang munculnya program-program itu. Berbagai sajian data menyebut 1% orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 40–50% kekayaan nasional. 10% orang terkaya menguasai sekitar 74–75% kekayaan nasional. 60 keluarga menguasai 30 juta hektar tanah, mencakup hampir seluruh sektor agribisnis dan sumber daya alam Indonesia. Dari daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2024, pribumi asli berjumlah 9 orang (18%).

Sebanyak 0,02% dari populasi (sekitar 54.000 orang) menguasai 53% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan, dengan rata-rata simpanan per orang mencapai Rp98 miliar. Sebaliknya, 63,05% populasi (sekitar 170 juta orang) hanya menguasai 12,8% dari total DPK, dengan rata-rata simpanan per orang kurang dari Rp6 juta.

Lihat juga...