Membangkitkan Diponegoro: 200 Tahun Perlawanan, Api yang Tak Pernah Padam
Kiai Hasan Ma’shum, Kiai Abdurrahman Suranatan, dan para santri di daerah Mataraman dan pesisir.
Jaringan tarekat dan pesantren ikut dalam perjuangan, menjadikan perang ini sebagai perlawanan ideologis dan spiritual.
Bagi Diponegoro, kemenangan bukan sekadar mengusir penjajah. Ia bercita-cita menegakkan tatanan Islam yang adil—sebuah kekuasaan yang melayani, bukan menindas.
Ia menolak menjadi raja boneka, dan ingin mewujudkan negara yang dipimpin oleh keimanan dan keadilan sosial.
Melawan Oligarki, Membela Rakyat
Kini, dua abad kemudian, ketika tanah dirampas demi proyek mercusuar, ketika suara rakyat dipatahkan demi modal asing, ketika elite politik kembali tunduk pada kekuasaan global, api Diponegoro harus kembali dinyalakan.
Sebagaimana disampaikan para budayawan, aktivis pergerakan 80 dan 98 serta aktivis pergerakan saat ini dalam diskusi peringatan 200 tahun Perang Jawa di Java Village Resort Sleman kemarin menegaskan: “Diponegoro bukan milik masa lalu. Ia adalah simbol perlawanan atas oligarki hari ini. Perjuangannya adalah panggilan iman dan nurani untuk membela wong cilik.”
Ketua Patra Padi (Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro) Rahadi Saptata Abra, mengatakan Kami tidak ingin nama besar Diponegoro hanya dijadikan nama jalan.
Yang lebih penting adalah meneladani keberaniannya. Melawan, meski sendiri. Membela rakyat, meski nyawa jadi taruhan.
Di tengah krisis keadilan, suara rakyat harus kembali lantang.
Seperti seruan Sigit Sugito, budayawan Yogya: “Diponegoro mengajarkan: diam dalam ketertindasan adalah kejahatan. Maka hari ini, mari bangkit. Lawan kesewenang-wenangan, lawan penjajahan gaya baru.”