Membangkitkan Diponegoro: 200 Tahun Perlawanan, Api yang Tak Pernah Padam
Ulama besar Kiai Mojo, yang juga kerabatnya, bukan hanya guru spiritual, tapi juga panglima utama perjuangan.
Bersama para ulama tersebut, Diponegoro menyusun visi perjuangan sebagai “perang sabil”—jihad melawan penguasa zalim dan penjajah kafir.
Zuhud Seorang Raja
Meski berdarah biru, Diponegoro menjalani hidup sederhana.
Ia dikenal zuhud—menjauh dari dunia, dan menjadikan agama sebagai pijakan hidup.
Kesaksiannya terhadap penderitaan rakyat membuat hatinya teriris. Sawah rakyat dirampas, pajak diperas, tanah-tanah adat dijual kepada asing.
Saat para elite keraton berpesta dalam kenyamanan, Diponegoro mendekap penderitaan rakyat di gubuk-gubuk pedesaan.
Kesalehannya tidak hanya dalam laku, tapi juga dalam visi. Dalam “Babad Diponegoro”, ia menulis sendiri catatan perang dan doa-doa.
Ia bukan hanya pemimpin militer, tapi pemikir dan penulis spiritual yang mendalam.
Diponegoro bukan memberontak, tetapi membela. Ia tidak memerangi bangsanya, tetapi melawan penjajahan yang dilegalkan kekuasaan, termasuk para bangsawan keraton yang tunduk pada kolonialisme.
Puncaknya adalah tahun 1825, saat Belanda membangun jalan melalui makam leluhurnya di Tegalrejo tanpa izin.
Baginya, ini bukan sekadar penodaan tanah leluhur, tapi simbol bahwa tanah airnya bukan lagi milik bangsanya.
Sejak itu, nyala api menyala.
Perang Jawa pun meletus, dan selama 5 tahun (1825–1830), pasukan Diponegoro menggetarkan kolonial Belanda—dengan strategi gerilya, jaringan pesantren, dan kekuatan spiritual.
Para Ulama Pendukung Revolusi
Di medan perang, Diponegoro tidak sendiri.
Ia ditemani para ulama dan santri yang menjadikan jihad ini sebagai panggilan iman: Kiai Mojo – penasehat utama dan komandan pasukan.