Doktrin profesionalisme. Ialah doktrin perlunya skill (ketrampilan) aplikatif dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah fil ‘ard. KDM melengkapi dirinya dengan ketrampilan komunikasi. Ia manfaatkan media sosial untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasannya. Ia tempa ketrampilan administrasi birokrasi. Melalui karir sebagai wakil bupati, bupati, anggota DPR dan kini gubenur.
Sedangkan doktrin leadership dan ketrampilan politik ialah peran sebagai khalifah fil ‘ard memerlukan keduanya. KDM menempa diri dalam leadership dan ketrampilan politik melalui proses panjang. Semenjak kontestasi internal HMI, kontentasi menjadi wakil bupati, bupati, dan anggota DPR hingga kontestasi menjadi gubernur. Merupakan proses panjang dalam menempa dirinya dalam leadership dan ketrampilan politik.
Proses tempaan panjang itu bisa diduga sebagai pembentuk karakter kepemimpinan yang melekat pada KDM. Ia bukan output dari proses instan kontestasi politik belaka. Ia memiliki wawasan idiologis, wawasan theologis, sekaligus ketrampilan dalam politik dan kepemimpinan. Maka lahirlah ia sebagai pemimpin dengan penuh kekayaan inisiatif dalam menyelesaikan problem masyarakatnya. Ia tumbuh sebagai agen pembangunan peradaban itu sendiri.
Produktivitas inisiatif KDM tidak bisa dimatikan oleh black campaign terhadapnya. Setidaknya akan amat sulit untuk mematikan inisiatif-inisiatifnya.
Inisiatif itu ia gali dari suara bathin masyarakat. Mewakili gemuruh suara bathin masyarakat. Merupakan buah dari kemampuannya mengasah intelektualisme dalam fact finding sekaligus problem solver yang dipelajarinya dalam proses panjang. Maka ia memimpin melalui kemimpinan inisiatif. Keemimpinan ide. Ia tipikal “kepemimpinan inisiatif”. Ia kemudia diikuti banyak orang. Diterima khalayak luas. Berbeda dengan kepemimpinan birokrasional. Dipaksakan semata melalui birokrasi.