Rengeng-Rengeng “Veto” Presiden Prabowo

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

Rengeng-rengeng”. “E”-nya semua dibaca seperti “e”-nya “senang”. Atau “e”-nya “tenang”, “renang”, “telentang”.

Ialah diksi dalam bahasa Jawa. Makna bebasnya “perbicangan orang yang terdengar sayup-sayup”. Perbicaangan itu tidak terlalu jelas di dengar. Akan tetapi sebagian masih bisa di mengerti.

Itulah gambaran “orang-orang jalanan” membicarakan kebiasaan Presiden Prabowo: “veto”. Ketika pembantu atau timnya, algoritmanya me(di)labrak kekecewaan publik. Presiden menggunakan strategi “putus ekor cicak”. Buru-buru memisahkan diri dari efek citra negatif sumber masalah itu.

Pembicaraan publik soal itu masih sayup-sayup. Satu dua. Belum pembicaraan ramai. Maka disebut dengan meminjam istilah Jawa: “rengeng-rengeng”. Belum ada suara lantang menyoal.

Beberapa peristiwa bisa kita jadikan obyek pencermatan.

Pertama, kasus “dark jokes” Gus Miftah (GM). Publik menganggapnya perilaku penghinaan. Tokoh agama, stafsus presiden, biasa mengucapkan kata-kata kotor. Di hadapan khalayak. Publik menuntut GM mundur.

Lingkaran presiden merespon gelombang protes itu dengan narasi standar. Istana sudah menegur. GM sudah meminta maaf.

Salah satu jubir istana membuat pernyataan: bukan sifat Presiden merendahkan rakyat kecil. Dipahami sebagai strategi presiden memutus efek citra negatif yang mengarah kepadanya. Menyudutkan pelakunya. Menyejiwa denga publik.

Terbaca Langkah itu tidak memberi kesempatan kedua kepada GM. Tidak ada pembelaan untuk GM melakukan perbaikan. Prioritas pertama presiden selamat dari gelombang protes.

GM membuat pernyataan mengundurkan diri. Presiden merespon: GM kesatria. Hingga kini veto presiden masih status quo. Belum diketahui adanya persetujuan GM mundur. Pengganti juga belum ada. Kasus itu ditimpa kasus lain yang berebut untuk viral.

Lihat juga...