Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – Jelang Radmadhan:26/02/2025
Apa itu “Megengan”. “E”-nya dibaca seperti “e”-nya “tegas”, “telat”, “emas”. Ialah tradisi masyarakat kaki pegunungan lereng selatan Gunung Wilis. Ketika menjelang masuk bulan Ramadhan.
Tradisi itu terekam dalam memori saya tahun 1980-1990-an. Tepatnya Dukuh Pelem Gadung, Desa Sukosari, Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Jatim.
H-1 menjelang Ramadhan masyarakat sekarang disibukkan sidang itsbat. Menunggu pengumuman Menteri Agama. Kapan puasa Ramadhan dinyataan dimulai. Masyarakat di tempat itu dulu diramaikan megengan. Setiap rumah mengundang perwakilan tetangganya. Pengundang menyediakan “ambeng” atau “takir”. “E”-nya dibaca seperti “e”-nya sedang. “I”-nya dibaca seperti “i”-nya “lembing”, “pancing”, “daging”.
Ambeng merupakan ember berisi makanan. Di atasnya dikasih “lodho” atau ingkung ayam, plus sayur dan jajanan. Biasanya “apem” Dibungkus daun “nangka” (artocarpus heterophyllus). Daun jack fruit.
Di samping “ambeng”, disediakan lembaran-lembaran daun pisang. Ketika selesai doa nanti, nasi dan lauk dibagikan kepada yang hadir. Untuk dibawa pulang. Berbeda denga “takir”. Ialah daun pisang yang dirajut ujungnya denga lidi. Dijadikan kotak makanan.
Jika tidak menyediakan “ambeng” tuan rumah menyediakan “takir” sudah berisi makanan. Banyaknya sejumlah undangan yang hadir. “Takir” inilah nanti dibagikan untuk dibawa pulang.
Acaranya sebentar. Mungkin 10 menitan saja.
Setelah undangan datang, dibacakan hajat acara itu. Oleh orang yang terbiasa menyampaikan hajat sebuah acara. Dalam bahasa Jawa setemat disebut “tukang kajat”. Orang yang terbiasa menyamapikan hajat dalam acara-acara tradisi. “Kajat”, hajat, di tempat lain populer disebut “ujub”.