Mbak Tutut Membersamai Golkar?

Pada masa Orde Baru, kepemimpinan Partai Golkar setiap jenjang ditentukan berdasarkan musyawarah mufakat. Aspirasi beragam faksi didialektikakan dan ditampung untuk kemudian disinergikan dengan agenda kepemimpinan nasional. Pos-pos penting kepartaian nyaris tidak ditentukan melalui perebutan terbuka.

Memasuki era reformasi, partai menghadai tantangan. Ialah hujatan publik yang ditimpakan kepada Presiden Soeharto. Ditimpakan pula pada partai Golkar. Bahkan muncul tuntutan pembubaran partai. Pada situasi seperti itu, mengemukalah peran para aktivis sebagai pengendali dominan Partai Golkar. Pos-pos penting kepartaian diperebutkan melalui kontestasi terbuka. Golkar berubah menjadi “arena gladiator” untuk melahirkan “gladiator-gladiator politik”.

Para aktivis ditempa kaderisasi politik sejak mahasiswa. Ditempa saling jatuh menjatuhkan dalam kontestasi politik. Maka lebih lihai menguasai pos-pos strategis di Partai Golkar. Sekaligus menjadi perisai utama dalam menghadapi hujatan eksternal terhadap partai Golkar. Alhasil, Partai Golkar tetap eksis hingga saat ini. Penganut madzhab “musyawarah mufakat” relatif terpinggir dalam pengelolaan partai. Termasuk putra-putri Persiden Soeharto.

Ketiga, perspektif psikologis. Putra-putri Presiden Soeharto tergolong tokoh senior. Manajemen “musyawarah mufakat” yang dianutnya menempatkan semua faksi dalam tubuh Golkar merupakan “anak-anak asuh”-nya. Akan dirasa tidak elok ketika harus ikut berebutan pos-pos strategis Golkar dengan anak-anak asuhnya sendiri. Ada kejanggalan psikologis dalam memenuhi harapan sejumlah pihak untuk ikut mengendalikan Golkar, jika itu harus dilalui melalui mekanisme “politik gladiator”.

Lihat juga...