OPINI – Wacana Muktamar Luar Biasa (MLB) Nahdlatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu sempat mengemuka dan menjadi trending topik di jagad perpolitikan tanah air.
Beberapa unsur kiai muda terlibat aktif dalam kampanye MLB tersebut, sebagai wujud kekecewaan atas kepemimpinan PBNU saat ini.
Dari catatan wacana yang dilontarkan ke publik, semangat untuk penggantian pimpinan PBNU melalui MLB ini dilatari kekecewaan terhadap pola kepemimpinan PBNU di bawah komando Gus Yahya sebagai ketua umum yang dinilai cukup arogan dalam menjalankan organisasi.
Di bawah kepemimpinannya tercatat banyak pemecatan dilakukan terhadap pengurus NU di wilayah dan cabang. Yang paling fenomenal tentu pemecatan Ketua PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar.
Saat itu ditengarai sang ketua dianggap condong ke salah satu kandidat capres 2024. Kini PWNU Jawa Timur telah memiliki pemimpin baru dari Tebuireng Jombang.
Suara-suara bernada kekecewaan terdengar dari berbagai pengurus wilayah dan cabang NU. Catatan paling kritis adalah soal keberpihakan PBNU terhadap semua kebijakan Presiden Jokowi saat itu.
Seolah tanpa reserve, NU tampil bagaikan instrumen kekuasaan Jokowi yang sangat patuh. NU di bawah nahkoda Gus Yahya telah menjelma menjadi fakta politik yang tidak memiliki kemandirian sikap sebagai kekuatan civil society.
Gus Yahya sering mengaku sebagai kader Gus Dur, padahal Gus Dur saat itu berhasil memposisikan diri sebagai kekuatan mandiri vis a vis pemerintahan Soeharto.
Sebagaimana kakek beliau Mbah Kiai Hasyim Asy’ari, Gus Dur menempatkan NU sebagai faktor politik yang mempengaruhi proses dan peta kekuatan politik.