PIK: Rasisme, Kedaulatan dan Kesenjangan Sosial

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

PIK-2, Pantai Indak Kapuk, menyeruak oleh belitan kasus hukum. Mulai pelanggaran lingkungan, hingga pelanggara tata ruang. Terakhir terseret-seret oleh kasus “tanggul laut”, sepanjang lebih 30 km, di Tangerang. Sebagian publik menilainya berkaitan dengan PIK 2. Kasusnya sedang diinvestigasi

Ada tiga ancaman mengintai dan membekap kasus PIK 2. Tanpa penyelesaian komprehensif dan mendasar, kasus ini bisa menjadi duri dalam daging pemerintah RI. Terus hadir sebagai masalah bangsa.

Pertama, isu rasisme. PIK 2 dimiliki oleh konglomerat etnis Cina. Diperkirakan memuat 74.000 unit rumah mewah. Secara keseluruhan akan memuat tidak kurang 305.000 orang. Sebagai fasilitas perumahan elit, hanya bisa dimiliki kaum the have. Bisa diprediksi semuanya atau mayoritas etnis Cina.

Realitas itu akan mengundang isu rasisme. Benturan antar ras. Di tengah realitas historis kasus itu yang selalu berulang. Beberapa abad lalu (1740 M), tidak jauh dari lokasi PIK 2. Tepatnya di Jakarta. Data kontemporer menyebut 10.000 orang cina di bunuh, 500 luka parah, 700 rumah dirusak.

PIK 2 menegaskan eklusivitas orang-orang Cina. Sebuah kemegahan eklusive beridentitas etnis, di tengah masyoritas masyarakat dengan etnis berbeda. Eklusivitas itu akan mudah menjadi pemicu benturan. Ketika menemukan triger yang tepat, kasus Jakarta bisa berulang. Proyek itu menegaskan perjalanan panjang sebuah bangsa tidak mudah menjadikan koloni minyak bisa bersatu dengan air. Pembauran masih sulit diwujudkan.

Kedua, isu kedaulatan. Salah satu HTAG (Hambatan, Tantangan, Ancaman, Gangguan) pada masa mendatang adalah krisis iklim. Ketika sejumlah belahan dunia kenyamanan hidupnya terusik oleh prahara iklim. Terjadi krisis pangan, air, energi dan lingkungan yang tidak bersahabat. Kasus Eropa yang “membeku” dan kebakaran hutan di Los Angles USA, memberi gambaran betapa banyak belahan negara maju sedang menghadapi masalah tempat tinggal.