Payung hukum CSR juga tidak memuat saknsi secara tegas di luar sanksi administratif. Kekosongan format sanksi ini menjadikan dana CSR mudah diselewengkan oleh justifikasi kepentingan tertentu.
Pengaturan CSR tidak menyediakan ruang pengawasan pelaksanaan CSR secara nasional. Melainkan pengawasan melalui korporasi masing-masing. Akibatnya anggaran CSR nasional mencapai 80 T per tahun tidak bisa dioptimalkan untuk secara fokus mengatasi problem-problem nasional.
Untuk menutup kelemahan itu, PP 47/2012 tentang TJSL perlu disempurnakan. Perlu memuat kriteria bidang-bidang dan program prioritas. Agar obyek program CSR tidak menjadi intepretasi liar dan pintu masuk intervensi berbagai pihak.
Sebagai contoh “bidang prioritas” adalah: bidang pendidikan, kesehatan, rehabilitasi lingkungan, ekonomi rakyat maupun dukungan pengembangan produk ekspor serta penguatan idiologi bangsa. Sebagai “program prioritas” adalah penyediaan atau rehabilitasi sarana-prasarana darurat pendukung kegiatan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Pembangunan infrastruktur darurat konektivitas antar masyarakat antar wilayah. Rehabilitasi lingkungan dan pengembangan zona penyangga ekologi dan ekonomi masyarakat. Pengembangan UMKM dan eco tourisme. Dukungan program kedauatan pangan, energi terbarukan dan ketersediaan air bersih. Maupun program-program prioritas lainnya.
Rumusan tegas bidang dan program prioritas akan menghindarkan CSR tidak tepat sasaran. Tidak memungkinkan kegiatan-kegiatan reuni kampus atau sekolah yang sifatnya sekunder menjadi obyek pembiayaan. Ketika masih banyak program-program prioritas membutuhkan sentuhan CSR.