Secara teoritik, in-efektivitas hukum dipicu empat hal. Peraturan yang tidak sempurna, lemahnya profesionalisme aparat penegak hukum, fasilitas penegakan hukum yang ketinggalan dan kesadaran hukum masyarakat yang lemah.
Berdasar kerangka teoritik itu, dugaan korupsi kasus CSR lebih dominan penyebabnya pada ketidaksempurnaan peraturan. Banyak celah hukum untuk menjadikan dana CSR sebagai obyek penyimpangan. Dana publik selalu rawan diperebutkan dan bahkan menyimpan potensi penyelewengan. Ketika tidak terdapat formulasi rigid dalam pengaturannya, dengan sendirinya membuka potensi lebar penyimpangan.
Peraturan terkait CSR tidak mengatur program prioritas ataupun bidang prioritas obyek CSR. Pengaturannya bersifat umum.
Pasal 1 angka 3 UU UU 40/2007 meyatakan: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”.
Pasal 2 PP 47/2012 menyatakan: “Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pasal 3 ayat (1) PP 47/2012 menyatakan: “Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang”.
Begitu generalnya rumusan obyek CSR, menjadikan implementasi program menjadi multi intepretatif. Program-program tidak prioritas bisa menjadi obyek CSR. Termasuk intervensi berbagai kepentingan berebut dana CSR. Melalui program-program yang urgensinya bukan prioritas. Karena terbuka celah dalam menafsirkan program prioritas yang harus dibiayai CSR.