Konon, menurut sebuah cerita. “Jumenengan” raja Jawa (Nusantara) akan diakui kredibilitasnya jika dihadiri raja-raja se Asia Tenggara. Kisah sebenarnya perlu diverifikasi. Siapa raja-raja Nusantara yang punya reputasi seperti itu. Benar apa tidak ada syarat seperti itu. Kini reputasi itu dilampaui Prabowo-Gibran.
Kehadiran para pemimpin negara itu mencerminkan banyak hal. Sekaligus teka-teki.
Pertama, presiden Prabowo menerapkan benar falsafah “seribu kawan masih kurang, satu lawan terlalu banyak”. Ia menerapkan politik luar negeri bebas aktifnya dengan mengulurkan tangan persahabatan. Kepada semua bangsa. Tercermin dari kehadiran banyak kepala negara.
Kedua, bukan saja pimpinan negara lingkup Asean, negara Eropa dan Amerika. Presiden Prabowo juga mengundang negara-negara kecil di lingkar luar Nusantara. Seperti Vanuatu, Solomon Island , Papua Nugini. Negara-negara basis pendukung FWP (Free West Papua). Markas kelompok sparatis Papua melancarkan gerakannya.
Sekaligus menjadi teka-teki. Sejauh mana negara-negara itu bergeser pandangannya lebih akomodatif terhadap Indonesia. Seberapa jauh pula para aktivis FWP di negara-negara itu mulai realistis. Tidak lagi memaksakan gerakan sparatis kepada Indonesia.
Menjadi teka-teki pula. Sejauh mana pemerintah Indonesia dalam skema kepemimpinan baru ini telah memiliki formula diplomasi. Untuk meredakan gerakan sparatis dari negara-negara itu.
Terlepas dari itu semua, etikat persabatan sudah mulai terlihat. “Virus satu lawan terlalu banyak”, telah dijalarkan oleh Presiden Prabowo ke sebanyak mungkin bangsa. Dalam menghadapi situasi geopolitik global yang tidak menentu.