Tiga Sebab Kudeta PKI 1965 Gagal

Mayor Subardi menghubungi Mayor Soedarto di Kediaman S. Parman. S. Parman ternyata juga diculik. Keduanya kemudian menghubungi Pangdam Djaya Umar Wira Hadi Kusuma. Pangdam itu meneruskan informasinya ke Pangkostrad Jenderal Soeharto.

Terbunuhnya ketiga jenderal itu membuka kamuflase doktrin G30S/PKI: “menjemput para perwira yang tergabung dalam Dewan Jenderal, untuk dihadapkan pada presiden, atas perintah presiden”.

Akan tetapi jam-jam pertama peristiwa itu, lingkaran elit militer non komunis sudah mengetahui. “Penjemputan” itu ternyata sebuah pembunuhan. Informasi itu memunculkan inisiatif melakukan tindakan. Baik pada taraf sederhana dalam bentuk mencari informasi. Termasuk konsolidasi dan siaga untuk tidak mengalami nasib seperti para jenderal pimpinannya itu.

RPKAD Sarwo Edi Wibowo merupakan loyalis Jenderal A Yani. Bersiap-siap menuntut balas kematian koleganya. Jenderal Soeharto sesuai standing order mengamankan komando militer ketika Jenderal A. Yani berhalangan.

Pembunuhan itu merobek doktrin Aidit: “pengendali inisiatif akan menentukan kemenangan gerakan”. Pembunuhan itu menjadikan gerakan PKI bukan satu-satunya inisiatif. Implikasinya memunculkan inisitif imbangan. Baru pada jam-jam pertama gerakan. Para jenderal non komunis sudah mengambil kendali inisiatif melakukan perlawanan.

Berbeda ketika tidak ada peristiwa pembunuhan. Para Jenderal non komunis hanya akan bertanya-tanya berkepanjangan. Dimana para Jenderal pimpinannya itu kini berada. Di mana tempat para jenderal dihadapkan presiden?.

Kedua, kegagalan G30S-PKI “menyandera” Presiden Soekarno. Brigjen Soepardjo ditugasi menjemput Presiden Soekarno dari Istana. Menggunakan helikopter untuk diterbangkan ke Bandara Halim tanpa pengawalan. Di kawasan Bandara Halim itu sudah bertebaran para pendukung G30S-PKI.

Lihat juga...