Salah satu sebab kemunduran itu adalah masuknya beragam manhaj gerakan Islam Politik yang tidak memiliki akar nasionalisme Indonesia. Seperti masuknya gerakan sayap-sayap Ikhwanul Muslimin (IM), Hisbut Tahrir (HTI), Salafi-Wahabi (SW), maupun menguatnya gerakan politik sejumlah kaum Habaib. Salah satunya melalui FPI. Ia bukan parpol, akan tetapi aktif sebagai presure group politik.
NU-Muhammadiyah, lahir dari anak kandung nasionalisme Indonesia. Konstruksi Indonesia merdeka merupakan salah satu bagian dari hasil perjuangannya. Maka mereka memiliki semangat memuati kemerdekaan itu sebagai bagian membangun dirinya sendiri. Menyakitinya adalah menyakiti dirinya.
Berbeda dengan sayap IM, HTI, SW maupun gerakan politik Habaib. Kesetiaan nasionalismenya bersumbu pada akar historis ia tumbuh. Bukan nasionalisme Indonesia. Maka agenda gerakannya memperkuat eksistensi politik internal sekaligus mengambil alih dan atau mengkoreksi sistem kebangsaan dan ketatanegaraan. Maka narasi yang mencuat banyak didominasi sebagai perlawanan terhadap state. Tidak merasa sebagai bagian dari state. Perlawanan itu menggunakan jargon-jargon ke-Islaman. Dari sinilah penyebab “politik Islam” Indonesia mengalami kemunduran pada era reformasi.
Salah satu cara menghentikan kemunduran itu dengan penyadaran ummat Islam. Atas kamuflase gerakan “Islam Politik”. Keberadaannya menenggelamkan gerakan “Politik Islam” yang sudah berjalan ke arah kemajuan.
Ummat Islam Indonesia tidak boleh diadu dengan negara. Ia bagian tak terpisahkan dari bangsa dan negara itu sendiri. Ummat Islam Indonesia merupakan pendiri dan pembangun peradaban Pancasila. Jangan sampai dipisahkan oleh manhaj dan idiologi yang tidak memiliki kesejalanan historis dengan NKRI.