Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Sejak kemarin beredar broadcast dalam bentuk flyer di group-group WA. Berisi peringatan datangnya musim bedhiding. Tertulis peringatan itu dari Pemprov Jawa Timur. Mengingatkan memori ketika masa kecil tumbuh di kawasan Mataraman Jatim. Tidak bisa dilupakan bagaimana hari-hari dibelit bedhidhing. Dinginnya minta ampun.
Masa di mana selimut dan baju tebal menghiasi hari-hari. Bangkong (dibaca “mbangkong”), atau bangun kesiangan, merupakan kejadian sehari-hari. Cepat melepas selimut bukan pilihan yang tepat pada situasi seperti itu. Duduk berlama-lama di pawon (tungku perapian dari tanah untuk memasak) merupakan cara menghabiskan waktu.
Bedhidhing. Merupakan diksi bahasa Jawa. Istilah itu populer di Jawa. Kemudian diserap dalam Bahasa Indonesia. Cara mengucapkannya, “i” kedua dibaca seperti “i”-nya taring, lembing, penting, tebing, sering.
Istilah itu menggambarkan musim dingin parah. Rasa dinginnya menusuk tulang. Beda dengan sengatan dingin reguler di dataran tinggi. Seperti Lembang, Batu-Malang dan Dieng. Dinginnya hanya sampai di bawah kulit. Pada saat bedhidhing, menjelang malam hingga pagi suhu dingin menusuk tulang. Siang hari panas menyengat pada kulit luar. Akan tetapi rasa dingin di tulang tidak hilang.
Bedhiding biasanya berlangsung tiga sampai empat bulan. Juni sampai Agustus. Berlangsung sejak awal musim kemarau. Periode, yang dalam Pranata Mangsa Jawa disebut Mareng Terang.
Kenapa terjadi bedhidhing?. Sains memberi penjelasan.
Matahari sedang berada jauh di utara. Daerah di selatan Katulistiwa tertimpa cuaca dingin. Hangatnya sinar matahari berkurang di kawasan selatan. Pulau Jawa, Bali, NTT. Berada di selatan Katulistiwa. Daerah-daerah itu terpapar bedhidhing.