Terkadang hanya menghabiskan satu dua cangkir kopi dan makanan pengganjal perut. Mie instan. Untuk kemudian diteruskan melalui aksi jalanan. Maupun forum-forum lebih formal, seperti sarasehan dan seminar-seminar.
Warung-warung kopi menyediakan tempat tak berbayar, untuk para aktivis melakukan konsolidasi. Mematangkan pemikiran-pemikiran idealistik dan aksi-aksi teknis. Bisa menggunakan warung kopi itu leluasa tanpa durasi. Tanpa dikenakan over time charge. Hanya perlu membayar kopi dan makanan secukupnya. Itupun kadang dihutang pula. Dibayar belakangan. Satu praktek bisnis yang tidak diketemukan kalkulasi untung ruginya pada era sekarang.
Hampir semua ruas jalan dan gang di sekitar kampus banyak bertebaran warung kopi. Sebanyak itu pula fasilitas konsolidasi murah tersedia bagi para aktivis. Di tempat ini para aktivis mahasiswa menyusun janji-janji perubahan. Untuk diperjuangkan melalui aksi-aksi jalanan.
Warung kopi merupakan cerminan rakyat kecil. Lapisan ekonomi terbatas dalam masyarakat. Bukan kaum berkelimpahan harta.
Mereka dengan sukarela menjadi investor perubahan. Menyediakan arena konsolidasi murah bagi penggerak perubahan. Dari waktu ke waktu. Dari Angkatan mahasiswa yang satu ke angkatan mahasiswa yang lain.
Gerakan reformasi berhasil mengganti rezim orde baru. Telah berjalan lebih dari 2 dekade. Bahkan menjelang 3 dekade. Bagaimana nasib warung-warung kopi itu. Nasib lapisan orang-orang kecil. Nasib para investor-investor perubahan skala mikro itu. Nasib para penanam saham perubahan. Tempat para aktivis menyandarkan nasib perjuangannya sehari-hari. Kala itu.
Apakah taraf hidupnya sudah membaik. Lepas dari atmosfere ketidakadilan. Dari kejamnya KKN yang memenderitakan rakyat?. Dari kebutuhan pokok yang sudah tidak menjerat lagi.