Islam memberi pesan kepada ummatnya untuk selalu meningkatkan taqwa. Setidaknya sekali seminggu melalui khutbah Jumát. Esensinya adalah nasehat untuk melawan narasi dan nilai-nilai yang menjauhkan dari taqwa.
Menurut istilah, taqwa adalah “melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya”. Hukum Allah Swt itulah standar dari value atau nilai itu sendiri. Di luar itu pasti salah dan menyesatkan.
Menurut sejumlah ulama, ada tiga tingkatan taqwa dalam perspektif Islam.
Pertama, membebaskan diri dari adzab dengan membebaskan diri dari syirik kepada Allah Swt. Kedua, menjauhkan dari dosa, baik melakukan yang dilarang atau meninggalkan yang di perintah. Ketiga, mengosongkan hati dari sesuatu yang menyibukkan selain yang maha benar (Allah Swt).
Parameter kesesatan sebuah narasi atau nilai, ketika kehadirannya justru menjauhkan secara batiniah dari kedekatannya kepada Sang Pencipta. Termasuk menjauhkan dari ketaatan kepada hukum-hukum-Nya. Ketika semakin menyibukkan hatinya dari selain-Nya.
Penting untuk mengasah diri menjalankan ketiga tingkatan taqwa itu. Ketaqwaan yang kuat dengan sendirinya menjadi instrumen filterisasi dan perisai penjajahan narasi.
Bagaimana dengan selain ummat Islam?. Tentu mereka memiliki standar nilainya sendiri. Sebagai instrumen proteksi gencarnya penetrasi narasi melalui beragam flatform media sosial dan media informasi.
Kedua, memperkuat tradisi literasi. Wawasan dan pengetahuan luas didapat melalui tradisi literasi yang kuat. Keluasan wawasan dan pengetahuan merupakan instrumen proteksi dari gempuran narasi yang menyesatkan itu.
Era digital memanjakan manusia melalui kemudahan search engine dan database digital dalam menemukan informasi. Namun merupakan kesalahan ketika menganggap narasi yang tersimpan dalam database digital, media online, media sosial, sebagai narasi yang selalu akurat dan otentik.