Selat Malaka memiliki makna setrategis bagi Indonesia. Baik secara geopolitik maupun geoekonomi.
Secara geopolitik, selat Malaka merupakan tumpang tindih perbatasan antar negara. Dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan (archpelgic state), batas terluar negara adalah 12 mil ditarik dari landas kontinen. Ditambah ZEE hingga 200 mil.
Selat Malaka tidak memiliki jarak selebar itu.
Perbatasan antar negara dalam selat Malaka menggunakan metode median line (garis tengah). Tumpang tindih itu tetap saja potensi laten konflik geopolitik sepanjang waktu.
Kedua, merupakan penghubung dan jalur pergerakan militer melalui laut dari kawasan-kawasan strategis dunia. Secara militer, kendali selat Malaka merupakan bagian penting dalam memutus atau memperlancar pergerakan peralatan militer angkatan laut pihak-pihak yang berkonflik.
Secara geoekonomi, selat Malaka memiliki valuasi ekonomi yang sangat tinggi. Salah satu contohnya adalah valuasi ekonomi jasa pemanduan kapal.
Data Straitrep (2019) mengungkapkan pada kurun waktu 2009-2019 arus kapal melalui Selat Malaka sekitar 60.000-85.000 unit per tahun. Baru 300 kapal saja yang bisa dilayani Indonesia.
Jasa pemanduan kapal 60.000-85.000 unit per tahun itu nilai valuasi ekonominya mencapai 45 Triliun pertahun. Bila diakumulasikan dengan derivasinya, nilainya mencapai Rp360 triliun pertahun. Jumlah itu saat ini 70 persen nya dinikmati Singapura.
Aspek strategis lainnya adalah sepertiga kapal tangker dunia melewati selat Malaka dalam distribusinya. Energi (Migas) masih menjadi urat nadi bagi pergerakan ekonomi setiap bangsa. Siapa yang mampu mengendalikan Selat Malaka, akan mengendalikan pergerakan ekonomi bangsa-bangsa di dunia.