Presiden Soeharto begitu menyatakan berhenti, menyerahkan sepenuhnya penyelenggaraan negara pada penggantinya. Ia tidak ikut-ikut bermain politik lagi. Madeg Pandito. Begitu istilah dalam diksi bahasa Jawa.
Bahkan Habibie tidak ditemui. Agar tidak ada bayang-bayang Presiden Soeharto kepada penggantinya. Ia menyerahkan sepenuhnya pada generasi baru.
Presiden Soekarno, ketika tuntutan mundur menggema, begitu lama akhirnya ia lengser. Itupun dipaksa lengser melalui pencabutan mandat di MPR.
Presiden Soeharto tidak melalui proses itu. Ketika gelombang tuntutan suksesi menggema, Presiden Soeharto mengumpulkan tokoh-tokoh bangsa. Ia berkonsultasi bagaimana ia harus menyikapi situasi kebangsaan itu.
Terbukti ia juga tidak perlu waktu lama untuk menyatakan berhenti. Tanpa proses berbelit-belit dan memicu ketegangan nasional berlarut-larut.
Kini viral statemen Presiden Jokowi untuk “cawe-cawe” dalam proses politik. Pasca dirinya habis masa jabatan. Banyak pihak menghujat. Itu bukan sikap negarawan. Mestinya ia menjadi pandito sebagaimana Persiden Soeharto.
Ada satu hal yang layak untuk dicermati. Cawe-cawe itu untuk tujuan apa. Untuk melanggengkan jaring-jaring kekuasaan?. Atau untuk tujuan lainnya.
Sikap kenegarawanan Persiden Soeharto dengan tidak cawe-cawe dengan para penggantinya, ternyata menyisakan problem bangsa berlarut-larut. Bahkan hampir berlangsung tiga dekade reformasi.
Apa problem itu?
Problem itu adalah para pengganti Presiden Soeharto tidak bisa menjaga kelangsungan skenario pembangunan bertahap berkelanjutan. Sebagai road map Indonesia untuk segera menjadi negara maju. Sebuah skenario yang sudah dijalankan sejak 30 tahun ketika Orde Baru memulai memimpin.