Inilah Rutinitas Keseharian Presiden Soeharto
Setelah sembahyang Subuh biasa minum kopi dan kemudian membaca koran yang sudah ada di meja.
Pada kesempatan itu saya memberi pengertian terinci mengenai tahun Jawa. Menurut perhitungan kalender Jawa, nama hari hanya lima[2] yang sering disebut pula sebagai pasaran, setahun dua belas bulan, dan nama tahun hanya sampai delapan yang tercakup dalam sewindu. Setiap sewindu, hari pasaran, tanggal dan bulan serta tahun dengan nama yang sama akan bertemu. Itulah yang disebut tumbuk warsa. Dan hari Rabu Kliwon; bulan Suro, tahun Je, yang jatuh pada Selasa malam tanggal 24 September 1985 itu untuk kedelapan kalinya istri saya memperingati hari lahir dengan nama hari pasaran, tanggal dan bulan serta tahun yang sama. Dalam kalender Jawa, hari dimulai pukul 18.00, bukan pukul 00.00.
Waktu merayakan tumbuk warsa istri saya itu saya mengenakan surjan gaya Yogya, warna hijau. Istri saya juga mengenakan kebaya warna kehijau-hijauan. Tumbuk warsa 8 windu itu terjadi hanya satu kali seumur hidup kita masing-masing. Bahkan tumbuk delapan windu itu juga disebut tumbuk besar. Itu penting artinya bagi perjalanan hidup manusia. Karena itu harus diperingati.
Pemotongan tumpeng diadakan. Kami membaca “AI Fatihah”, dan kemudian menyanyikan “Panem Bromo”, nyanyian tradisional Jawa yang berisikan puji bagi keselamatan orang yang merayakan.
*