Tangani Dampak Perubahan Iklim Dapat Belajar dari Sejarah
JAKARTA — Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Hilmar Farid mengatakan masyarakat global dapat belajar dari sejarah untuk menentukan strategi dalam menangani dampak perubahan iklim saat ini.
“Studi sejarah menurut saya bisa memperlihatkan bagaimana komunitas berskala kecil mengelola alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus merusak. Praktik seperti itu sudah terbukti unggul karena sudah melalui ujian waktu,” katanya dalam Pembukaan Konferensi Nasional Sejarah XI 2021 secara dalam jaringan di Jakarta, Senin (8/11/2021).
Pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap praktik-praktik baik mengelola alam dan lingkungan di masa lalu, katanya, berkontribusi bagi masyarakat saat ini untuk mencari modal yang lebih efektif mengatasi ancaman perubahan iklim dan bersama menciptakan masa depan yang lebih baik.
Saat ini, katanya, salah satu tantangan yang paling besar untuk masyarakat dunia mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan adalah perubahan iklim. Baru-baru ini, pemimpin dunia, termasuk Indonesia, bertemu di Glasglow, Skotlandia untuk membahas masalah perubahan iklim, yang dikenal dengan Conference of the Parties (COP) ke-26 atau COP26.
Pertemuan itu untuk mengikat komitmen di antara negara-negara di dunia dalam mencegah pemanasan global dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Pada 2015, sebenarnya negara-negara sudah merumuskan komitmen untuk mengatasi persoalan perubahan iklim yang menghasilkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement).
Tetapi, lanjut Hilmar, sejak Kesepakatan Paris terbentuk dan dalam beberapa tahun terakhir belum terlihat upaya sungguh-sungguh untuk mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab utama dari perubahan iklim. Kerja sama global tentunya diperlukan di berbagai tingkat untuk mengatasi persoalan global itu.