Bubur Sumsum Juruh Gula Merah yang Kaya Filosofi Usai Hajatan Pernikahan
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
LAMPUNG — Waktu persiapan hingga pelaksanaan hajatan pernikahan secara tradisional membutuhkan tenaga ekstra. Sebagai pemulihan tenaga usai melakukan pekerjaan selama hajatan, menu kuliner bubur sumsum jadi alternatif untuk disajikan.
Rukun Haryoto, tokoh masyarakat di Desa Pasuruan, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan menyebutkan, bubur sumsum kerap juga disebut jenang sumsum pada tradisi masyarakat Jawa bukan sekedar kuliner mengenyangkan. Makna atau filosofi dari kuliner tersebut kerap dikaitkan dengan niat atau hajat saat pernikahan.
Dua elemen berbeda unsur warna putih dan merah memiliki kandungan makna pertemuan antara pria dan wanita. Makna lain dari warna putih sebagai kebersihan hati, pikiran dan tubuh segar kembali. Elemen putih memberi unsur rasa manis, kesejahteraan, ungkapan terima kasih, syukur dan kebahagiaan atas manisnya hidup.
“Bagi masyarakat Jawa, kehadiran bubur sumsum ada saat momen istimewa kelahiran, pernikahan dengan bahan utama berupa tepung beras dengan juruh atau kuah gula jawa disajikan bagi seluruh warga yang ikut membantu terlaksananya hajatan,” terang Aloysius Rukun Haryoto saat dikonfirmasi Cendana News, Sabtu (25/9/2021).
Tujuan menikmati, membagikan bubur sumsum sebut Aloysius Rukun Haryoto bermakna bentuk syukur. Sebab kegiatan hajatan sejak satu bulan dipersiapkan berjalan dengan sukses.
Bubur sumsum ungkap Aloysius Rukun Haryoto dibuat dengan beras. Prosesnya dengan merendam beras lalu dicuci bersih. Tumbuk beras yang telah ditiriskan menjadi tepung lalu larutkan dengan santan kelapa. Sisakan santan kelapa lalu campurkan bersama garam dan daun pandan. Tuangkan semua bahan dalam wajan dengan proses pengadukan secara perlahan. Aduk semua bahan hingga mengental atau tanak. Sajikan dalam baskom kecil.