Perubahan Kurikulum Membutuhkan Evaluasi dan Pengawasan Publik
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Dari awal sifat pelatihannya adalah andragogi dan instruktur pun menjelaskan secara tidak detail. Peserta membaca sendiri berbagai dokumen PDF yang jumlahnya tidak sedikit. Sehingga berpotensi menimbulkan paradigma berbeda. Lalu bagaimana saat mereka harus mengajarkan hal tersebut pada pengajar lainnya di satuan pendidikan mereka,” ungkap Satriwan.
Contohnya, modul ajar sebagai pengganti RPP, memiliki lembar halaman antara 10 hingga 20 lembar. Sangat jauh berbeda dengan semangat menteri pada tahun 2019, yang memerdekakan guru untuk membuat RPP 1 lembar.
“Contoh lainnya, PKN kelas 5 SD sudah diajarkan makna ideologi, nilai Way of Life. Ini kan berat. Padahal katanya ingin menyempurnakan tapi malah seperti kembali ke kurikulum 2006,” kata pengajar SMA Lab School Jakarta ini.
Kejadian seperti ini, ungkapnya karena penyusunan kurikulum ini tidak melibatkan publik yang lebih banyak.
“Referensi dalam menyusun pencapaian pembelajaran hanya 10 saja. Ini menjadikan materi yang ada menjadi tidak kaya, isi kurikulum ini,” tuturnya.
Pengurangan jam pelajaran pun menimbulkan kekhawatiran pada guru.
“Dengan pengurangan jam pelajaran ini apakah berdampak pada sertifikasi? Dan kapan ini akan dilaksanakan? Juli 2021 ini atau kapan? Waktunya sangat mepet. Pelatihannya baru dua minggu lalu, yang akan kami lanjutkan pengajarannya ke guru lainnya di sekolah kami,” tandasnya.
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Awaluddin Tjalla, menjelaskan, suatu kebijakan harusnya didasarkan pada acuan rasional berbasis kajian.
