Kisah Para Guru di Garis Depan Flotim Lebaran Tanpa Mudik
Editor: Koko Triarko
“Toleransi tidak sekadar kata atau teori semata, tetapi diwujudnyatakan dalam kehidupan bermasyarakat. Damai dirasakan di tanah ini,”ungkap guru di SMKN 1 Larantuka ini.
Helga Kusuma, memilih menjadi bagian dari Guru Garis Depan (GGD) karena tidak ingin tetap berada dalam zona nyaman.
Guru SMAN 1 Larantuka ini sedikit lebih baik nasibnya dari rekannya yang lain, karena ia tinggal bersama dengan suami yang juga rekannya sendiri dalam komunitas GGD.
“Kerinduan bersama orang tua sudah empat tahun ini belum terobati. Rencana tahun ini bisa ketemu dengan orang tua, terhalang oleh pembatasan mudik dan virus Corona yang masih merebak,” ucapnya.
Guru SMAN 1 Kelubagolit, Pulau Adonara, Slamet Wahyanto, merasakan betul suasana kekeluargaan dan toleransi.
Slamet menyebutkan, saat membuka Surat Keputusan (SK) penugasan, tertulis SMAN 1 Kelubagolit. Ia tidak menyangka, kalau harus menyeberang lagi dan di sana dirinya diberikan tumpangan oleh warga sebuah rumah, tinggal di rumah sendiri, jauh dari istri anak, dan keluarga sangat menyedihkan.
“Semua kegalaun ini terhibur oleh masyarakat yang ramah. Toleransi antarumat di Pulau Adonara sungguh nyata. Saya kaget, heran dan bertanya-tanya saat suatu waktu di acara Idulfitri, kami salat di depan Gereja yang di dalamnya umat Katolik sedang berdoa. Senang bisa mengenal banyak teman di Flores Timur,” ujarnya.
“Buat istri, anak dan keluarga, saya sampaikan permohonan maaf karena belum bisa bertemu di Idulfitri kali ini. Rindu, kangen, iya, apa daya belum bisa bertemu? Paling-paling besok hanya andalkan video call. Sedih memang,” imbuh Slamet.
Sementara, Putri Wulan, terharu saat sahabat seperjuangan di Komunitas GGD meninggal dunia, di mana ia merasa sedih, bagaimana rasanya sakit di tanah rantau, jauh dari keluarga.