Jaga Asupan Nutrisi Remaja, Putus Lingkaran ‘Stunting’ di Indonesia

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

“Masa remaja ini merupakan usia pertumbuhan dan perkembangan lebih cepat dibandingkan kelompok usia lain kecuali satu tahun pertama kehidupan. Sehingga jika asupan gizi tidak optimal maka akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan generasi yang akan datang,” kata Fiastuti dalam kesempatan yang sama.

Karena itu, lanjutnya, remaja putri yang tidak memiliki asupan gizi yang tepat akan berpotensi menghasilkan bayi BBLR atau stunting atau memiliki gangguan kesehatan.

“Masalah yang sering timbul pada fase ini adalah perubahan pola hidup, malas sarapan dan lebih senang jajan, lebih suka makan bersama temannya dan mengonsumsi fast food  serta junk food yang nilai kesehatannya masih diragukan,” paparnya.

Efek pada diri remaja sendiri adalah peningkatan potensi terpapar penyakit tidak menular.

“Dan ini bukan sepenuhnya kesalahan remaja sendiri. Tapi sudah seperti perilaku masyarakat secara umum. Makanan atau minuman manis, berlemak, mengandung penyedap rasa dan banyak produk olahan tepung lebih mudah ditemui. Belum ditambah berbagai promosi dan kecenderungan membangun tren milenial dengan tidak memperhatikan nilai kesehatan,” paparnya lebih lanjut.

Belum ditambah dengan kecenderungan anak saat ini yang tingkat aktivitas fisiknya lebih rendah.

“Harusnya makanan remaja itu nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhannya dan didukung juga dengan kombinasi aktivitas fisik serta istirahat yang cukup,” kata dr. Fiastuti.

Untuk mengubah hal ini diperlukan sosialisasi dan kolaborasi setiap elemen masyarakat maupun pemerintah untuk memastikan pola makan sehat pada remaja.

“Ujungnya tentu yang kita harapkan, dengan menjaga gizi seimbang remaja, diharapkan generasi selanjutnya akan lebih sehat dan terhindar dari stunting,” pungkasnya.

Lihat juga...