Rayakan ‘Ceng Beng’ Permintaan Kebutuhan Sesaji Meningkat

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Soni, pedagang bunga di pasar Bambu Kuning, Tanjungkarang, Bandar Lampung, Sabtu (27/3/2021) – Foto: Henk Widi

Satu rangkaian bunga segar berbagai jenis kerap dijual seharga Rp50.000 hingga Rp100.000. Membeli bunga untuk dirangkai sendiri juga kerap dilakukan pelanggan dengan harga Rp7.000 hingga Rp10.000 per kuntum.

Sebagian warga etnis Tionghoa yang akan melakukan ceng beng kerap ingin praktis. Pembelian mencapai dua hingga tiga rangkaian untuk dibawa ke makam, vihara dan altar rumah.

Aroma wangi bunga jadi simbol hantaran doa dari keturunan kepada leluhur yang telah meninggal. Pembelian bunga kerap dilakukan saat warga akan berangkat ke makam yang berada di wilayah Lempasing.

“Saya menjual bunga bersama pedagang buah segar di lokasi yang dilintasi peziarah hingga puncaknya 5 April mendatang,” cetusnya.

Sony juga menyebut menjual bunga segar mengalami peningkatan permintaan. Sebab bagi umat Katolik akan merayakan Tri Hari Suci Paskah dengan kebutuhan bunga tabur.

Bagi sebagian umat Katolik beretnis Tionghoa, ceng beng digunakan untuk ziarah makam. Sebab tradisi tabur bunga dilakukan saat Jumat Agung wafat Yesus Kristus dilanjutkan tabur bunga di makam keluarga.

Ling Bun Pan, salah satu warga Teluk Betung Selatan memilih terlebih dahulu bersembahyang di vihara. Ia membawa sesaji buah, bunga untuk dibawa ke vihara.

Setelah membeli kertas doa atau kim ci ia akan menuju ke pemakaman etnis Tionghoa di Lempasing. Satu tahun sekali tradisi ceng beng ia membawa sesaji makanan, minuman dan buah segar serta bunga.

Berdoa di vihara dan makam sebutnya memakai hio dan lilin merah. Sejumlah sesajen disiapkan pada wadah khusus, lalu ia akan menempelkan kertas doa pada makam keluarga.

Lihat juga...