PKI Mainkan Dua Isu Kala Presiden Soekarno Jatuh Sakit

Pada saat kesehatan Presiden Soekarno berada dalam kondisi kritis, PKI menjalankan agenda pemusnahan lawan-lawannya (pimpinan puncak TNI AD) dengan mengatasnamakan kebijakan Presiden. Tahap selanjutnya —dengan cara halus maupun dengan cara paksa— Presiden sendiri akan dilenyapkan dan semua tatanan di Indonesia sepenuhnya dikendalikan PKI. Perlu diingat, pada tanggal 24 September 1965 —6 hari sebelum G 30 S/PKI meletus— di depan anggota Sarbupri, Aidit memberi sinyal untuk tidak tergantung pada “distribusi kewibawaan” Presiden Soekarno.

Melalui dua situasi itu yaitu, Presiden Soekarno benar-benar sakit atau sakitnya diskenariokan dokter-dokter Cina atas pesanan Aidit dan pemerintah RRC, PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan di Indonesia melalui skema sederhana.

Tahap pertama, akuisisi kekuatan militer (TNI AD) dengan mengganti atau menyingkirkan pimpinannya untuk digantikan orang-orang yang bisa dikendalikan PKI. Keberhasilan akuisisi TNI AD akan segera menjadikan PKI memiliki superiotas politik dan militer sekaligus.

Kedua, pemaksaan perubahan tatanan politik dan kepemimpinan nasional. Setelah TNI AD berhasil ditaklukkan, PKI mengasumsikan perubahan tatanan politik dan kepemimpinan nasional dapat dilakukan dengan mudah ibarat membalik telapak tangan. Ketokohan Presiden Soekarno (yang sudah merosot kesehatannya) juga akan mudah dieliminasi, manakala TNI AD sebagai kekuatan penyangga utamanya sudah ditaklukkan dan dijadikan sebagai barisan pendukung.

Terlepas secara policy Presiden Soekarno selama beberapa tahun terakhir sangat berpihak kepada PKI, namun tidak bisa dipungkiri jika eksistensinya ditopang dengan memainkan dua bandul kekuatan yang berhadapan secara diametral (PKI dan TNI).

Lihat juga...