Pakar: Teknologi Reproduksi Bisa Hasilkan Kelahiran Kembar pada Kerbau
Ke depan, ia berharap adanya pengembangan teknologi deteksi birahi dan kebuntingan dini. “Pengembangan teknologi kloning pada jenis ternak kerbau yang memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi tinggi, seperti Tedong Saleko di Toraja juga perlu untuk dieksplorasi pada masa-masa mendatang,” katanya.
Nurul mengemukakan saat ini produksi daging sapi dan kerbau dalam negeri hanya dapat berkontribusi sebesar 50,6 persen terhadap pemenuhan ketersediaan nasional, sedangkan 49,4 persen kekurangannya harus dipenuhi melalui impor.
Pengembangan ternak kerbau, lanjutnya, sebenarnya memiliki prospek yang cukup baik untuk mendukung upaya pencapaian swasembada daging, karena kerbau memiliki potensi produktivitas yang tak kalah bersaing dibandingkan dengan sapi.
Kerbau dikenal memiliki kemampuan yang sangat baik untuk mencerna pakan dengan kualitas rendah. Selain itu, rumen kerbau juga dilaporkan memiliki populasi bakteri Ruminococcus albus dan Fibrobacter succinogenes yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi.
Kedua bakteri tersebut bersifat selulolitik, sehingga kerbau memiliki potensi untuk mencerna kandungan serat pada pakan lebih optimal. Selain sebagai ternak penghasil daging, kerbau juga dapat menghasilkan susu.
Akan tetapi, peran ternak kerbau yang sangat penting tersebut belum didukung dengan pola pemeliharaan yang baik, karena masih dilakukan secara tradisional. Sistem pemeliharaan yang masih tradisional ini menyebabkan tidak optimalnya performa produksi dan reproduksi pada kerbau, bahkan populasi kerbau di Indonesia cenderung mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir.
Berdasarkan data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan), populasi kerbau di Indonesia pada tahun 2011 adalah 1,31 juta ekor, sedangkan tahun 2020 turun menjadi 1,18 ekor, terjadi penurunan sebesar 9,92 persen. [Ant]