Sistem Polikultur Dipertahankan Pembudidaya Udang Windu di Lamsel

Redaktur: Muhsin Efri Yanto

LAMPUNG — Sistem polikultur tetap dipertahankan oleh pembudidaya udang windu di Lampung Selatan. Udang dengan nama ilmiah Penaeus monodon itu kerap dikembangkan bersama ikan bandeng atau chanos chanos dan ikan nila srikandi atau Oreochromis aureus.

Susilo, salah satu petambak udang windu menyebut sistem polikultur dilakukan untuk memaksimalkan lahan. Pemilik sebanyak empat petak tambak di Desa Bandar Agung, Kecamatan Sragi itu menyebut cara tradisional dilakukan untuk mengatasi keterbatasan modal. Bagi pemodal sebagian memilih budidaya udang putih atau vaname dengan sistem intensif.

Profitabilitas atau sisi keuntungan dari sistem polikultur sangat tinggi. Sebab dalam satu hektare tambak tanpa polikultur ia menebar post larva atau benur windu sebanyak 30.000 ekor. Saat diterapkan sistem polikultur ia bisa menebar bandeng sebanyak 1.500 ekor dan ikan nila srikandi 1.500 ekor. Usia panen selama 6 bulan bisa menghasilkan keuntungan menjanjikan.

“Ketiga jenis komoditas budidaya perikanan tersebut tidak bersifat predator bahkan justru menjadi simbiosis mutualisme untuk meningkatkan kandungan oksigen di dalam kolam dengan pergerakan ikan bandeng dan nila yang aktif,” terang Susilo saat ditemui Cendana News, Senin (9/11/2020).

Sistem polikutur dilakukan saat udang windu sudah memasuki usia 4 minggu. Cara tersebut untuk menjaga tingkat pertumbuhan.Penebaran bersamaan saat usia 4 minggu dilakukan untuk mengimbangi umur produksi sehingga tidak menjadi kompetitor.

Benur atau benih udang vaname dibeli seharga Rp60 per ekor, nila srikandi Rp100 dan nener atau bibit bandeng Rp70 per ekor. Saat panen bersamaan ketiga jenis komoditas tersebut bisa menghasilkan ratusan kilogram. Pada pengalaman kondisi cuaca mendukung Susilo mengaku dalam satu petak dihasilkan 120 kilogram udang windu,150 kilogram ikan bandeng dan 200 kilogram nila srikandi.

Lihat juga...