Widaran, Lezatnya Kue Tradisional Khas Semarang

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Seiring waktu, beragam kreasi juga dilakukan, salah satunya dengan penambahan pewarna makanan dan penggunaan tepung tapioka sebagai pengganti tepung ketan.

“Kalau dibuat dari tepung ketan, teksturnya agak keras. Bagi lansia atau anak-anak, agak menyulitkan saat menggigit, sehingga kemudian diganti dengan tepung tapioka. Teksturnya lebih empuk, kalau orang Semarang menyebut kapes-kapes, jadi keras tapi kalau digigit gampang kempes,” ungkap Retno.

Sementara, penggunaan pewarna makanan, bertujuan untuk lebih menggugah selera makan, jika dibandingkan dengan warna awal kue widaran, putih kecoklatan.

“Harga kue ini juga murah, kalau saya jual hanya Rp 7.500 per bungkus dengan kemasan 250 gram. Peminatnya cukup banyak, selain tetangga kanan kini, ada juga yang beli untuk oleh-oleh,” lanjutnya.

Di satu sisi, meski masih banyak peminat, Retno mengakui rata-rata pembeli kue tersebut merupakan generasi 80-an ke bawah.

“Ya ini memang menjadi salah satu kendala. Banyak generasi sekarang yang tidak tahu beragam jenis kue tradisional khas Semarang. Tidak hanya widaran saja, namun juga kue lainnya seperti ganjel rel. Mungkin karena ini kue dari zaman kakek nenek mereka, jadi tidak kekinian,” tandasnya.

Sementara, salah satu penggemar kue Widaran, Eri Widarti, mengaku tertarik dengan kue tersebut karena rasanya enak dan ringan.

“Biasanya saya beli untuk teman ngemil, sambil nonton TV, atau buat suguhan kalau ada tamu yang datang ke rumah. Rasanya enak, manis namun teksturnya ringan, jadi cocok buat camilan,” terangnya.

Diakuinya, kue widaran tersebut juga mengingatkannya semasa masih kecil dulu. Setiap Lebaran, kue tersebut selalu ada di meja rumah sebagai suguhan.

Lihat juga...