“Lalu apa yang harus kami persiapkan, Romo? Bagaimana kami bisa mengiringi tarian kalau kami tidak tahu bentuk tarinya?”
“Perbanyaklah meditasi mulai malam ini, itu yang harus kalian siapkan. Nanti saat Ning mulai menari, rasakanlah suasana dan aura waktu itu. Ikutilah kata hati kalian untuk menentukan kapan dan bagaimana kalian mulai memainkan. Kalian hanya boleh memainkan perpaduan tiga nada yang diulang-ulang.”
Melihat para pemain gamelannya masih keheranan, Ki Ponco kembali berkata, “Sekali lagi saya mohon percayalah dengan saya dan Ning. Banyaklah berdoa dan minta petunjuk kepada Sang Hyang Widhi.”
Ki Ponco kemudian meninggalkan para pemain gamelan ketika merasa mereka telah sepenuhnya percaya dengan arahannya.
Kemudian malam berjalan sebagaimana malam-malam yang sebelumnya. Tetapi malam bagi Ning, Ki Ponco, dan para pemain gamelan lebih hening dan akan semakin hening oleh meditasi mereka.
***
TIBALAH giliran padepokan Ki Ponco untuk menyajikan tariannya. Mata Ning terkatup, ia berjalan anggun ke atas arena panggung dengan mata pejam. Kepalanya tunduk, berjalan khusyuk, setiap langkah kakinya dinantikan ribuan pasang mata di sekitarnya.
Tak ada yang berani bicara, tak ada yang berani bergerak. Seakan diaba-aba, semua menghirup nafas ketika telapak kaki Ning terangkat dan turut menghembus ketika kaki agung itu menjejak.
Kemunculan tubuh yang telah melalui berbagai macam laku itu menjadi pancer, satu-satunya pusat di keramaian itu. Irama ruang telah di bawah kendali Ning, bahkan ketika ia diam sekalipun.
Ning mulai bersimpuh di tengah panggung yang menghadap singgasana raja. Adanya Ning tepat di hadapan, membuat Sang Raja merasa sangat kecil. Ia telah kehilangan segala kuasa. Tubuh bersimpuh itu telah merajai ia yang duduk di singgasana.