NTA Beri Pelatihan Penenun Tradisional di Sikka
Editor: Koko Triarko
Selama ini, kelompok tenun pewarna alami hanya mengandalkan kunjungan wisatawan yang datang ke Sikka dan membeli produk kain tenun pewarna alami hasil produksi mereka.
“Saat pandemi Corona, wisatawan tidak bisa bepergian. Ini tentu membuat penenun tidak memperoleh pendapatan, sehingga perlu memanfaatkan teknologi untuk menjual produk mereka, termasuk lewat virtual marketing,” ujarnya.
Kain tenun, ungkap Susi, bukan hanya selembar kain, tetapi merupakan sebuah produk seni budaya warisan para leluhur yang dihasilkan melalui proses pembuatan menggunakan peralatan tradisional.
Untuk itu, kata dia, para penenun dilatih untuk membuat aneka produk turunan tanpa mengilangkan motif dan nilai seni budaya yang ada di dalamnya, serta bisa meningkatkan pendapatan.
“Kita dorong penggunaan pewarna alam, sebab ramah lingkungan dan tidak mencemari lingkungan. Kardus bekas juga dipergunakan, agar bisa mengurangi sampah,” ucapnya.
Sementara itu ketua kelompok tenun Akasia, Desa Munerana, Lutgardis Bunga Eldis, mengaku senang bisa mendapatkan pelatihan mengolah kain tenun pewarna alam dan aneka kain tenun bekas menjadi suvenir yang bernilai jual tinggi.
Menurut Lutgardis, selama ini kain-kain tenun bekas tidak dipergunakan, sehingga dengan adanya pelatihan pihaknya memperoleh keterampilan memproduksi produk dari kain tenun.
“Kami kesulitan menjual kain tenun pewarna alam, karena harganya lebih mahal dan tidak semua orang mau membelinya. Wisatawan pun tidak semua yang membeli kain tenun, sehingga perlu diolah menjadi produk lain berupa suvenir dan aksesori,” ucapnya.
Lutgardis tidak menyangka, selama ini kain tenun bekas dan yang terbuang bisa dijadikan karya yang menarik, bagus dan bernilai jual.