Rehabilitasi Hutan Lahan Terdampak Pandemi COVID-19
JAKARTA – Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Lahan di Indonesia ikut terdampak pandemi COVID-19. Hal itu membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memilih untuk fokus memperbanyak produksi bibit tanaman di 2020 ini.
Sementara untuk kegiatan penanaman kembali baru akan dilakukan di 2021 mendatang. “Tahun ini kita hanya produksi bibit, penanaman dilakukan tahun 2021. Anggarannya dihemat untuk penanganan COVID-19,” kata Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Saparis Soedarjanto, Rabu (17/6/2020).
Di 2019, menurut Saparis, KLHK telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 398.165 hektare (ha). Kegiatannya dengan penanaman di kawasan hutan seluas 206.000 ha, dan di lahan sangat kritis dan kritis di luar kawasan hutan seluas 192.616 ha. “Yang 398.165 hektare itu baru ditanam, belum jadi hutan. Ya diharapkan tumbuh tanpa ada gangguan, sehingga bisa menjadi hutan,” jelasnya.
Keberadaan angka lahan kritis menurut dia, baru akan berkurang jika yang ditanam sebelumnya sudah tumbuh menjadi hutan dan tanpa gangguan. Dengan asumsi tidak ada penambahan lahan kritis baru. KLHK melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung melakukan pemeliharaan sampai dua tahun setelah penanaman. “Sebenarnya tergantung jenis tanamannya, tapi rata-rata bisa tujuh sampai delapan tahun sebelum jadi hutan,” kata Saparis.
KLHK memilih jenis tanaman yang bervariasi untuk pelaksanaan rehabilitasi hutan atau reboisasi untuk mengurangi hutan dan lahan kritis di Indonesia. Semua itu, menyesuaikan dengan kriteria RHL, kesesuaian lahan dan keinginan masyarakat sekitar pelaksanaan kegiatan penanaman tersebut. RHL dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Sehingga memiliki daya dukung, produktivitas dan peranan dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.